1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Alat bukti berupa keterangan saksi sangatlah lazim digunakan dalam
penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi
dimaksudkan untuk mengetahui apakah memang telah terjadi suatu perbuatan
pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.
Keberadaan saksi untuk memberikan keterangan dalam penyelesaian
perkara pidana disebutkan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 26
mengatakan bahwa: “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana
yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.
Tidak ada suatu perkara pidana yang lepas dari pembuktian alat bukti
keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu didasarkan
kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya di samping
pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih tetap selalu diperlukan
pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.1
1 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Jakarta, Sinar Grafika, 2008, hlm 286.
2
Keterangan saksi dalam kedudukannya sebagai alat bukti dimaksudkan
untuk membuat terang suatu perkara yang sedang diperiksa diharapkan dapat
menimbulkan keyakinan pada hakim, bahwa suatu tindak pidana itu benar-benar
telah terjadi dan terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut.
Seringkali dalam berbagai sidang pembuktian perkara pidana, muncul alat
bukti yang disebut dengan istilah ”saksi mahkota”. Pada dasarnya, istilah saksi
mahkota tidak disebutkan secara tegas dalam KUHAP. Penggunaan alat bukti
saksi mahkota hanya dapat dilihat dalam perkara pidana yang berbentuk
penyertaan, dan terhadap perkara pidana tersebut telah dilakukan pemisahan
(splitsing) sejak proses pemeriksaan pendahuluan di tingkat penyidikan. Selain
itu, munculnya dan digunakannya saksi mahkota dalam perkara pidana yang
dilakukan pemisahan tersebut didasarkan pada alasan karena kurangnya alat bukti
yang akan diajukan oleh penuntut umum.2
Secara normatif penggunaan saksi mahkota merupakan hal yang
bertentangan dengan prinsip-prinsip peradilan yang adil dan tidak memihak dan
pelanggaran kaidah HAM secara universal sebagaimana yang diatur dalam
KUHAP itu sendiri, khususnya hak ingkar yang dimiliki terdakwa dan hak
terdakwa untuk tidak dibebankan kewajiban pembuktian, Pasal 66 KUHAP.
Penggunaan ‘saksi mahkota’ oleh Penuntut Umum selama ini jelas melanggar
2 http://mmsconsulting.wordpress.com/2008/07/31/eksistensi-saksi-mahkota-sebagai-alatbukti-
dalam-perkara-pidana/, di akses pada hari Kamis, Tanggal 08 Oktober 2009, jam 22:12 WIB.
3
instrumen hak asasi manusia secara internasional.3 Istilah “saksi mahkota” tidak
terdapat dalam KUHAP, tapi dalam praktik dan berdasarkan perspektif empirik
saksi mahkota itu ada. Di sini yang dimaksud “saksi mahkota” adalah saksi yang
berasal dan/atau diambil dari salah seorang atau lebih tersangka atau terdakwa
lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana dan dalam hal mana
kepada saksi tersebut diberikan mahkota.4
Mahkota yang diberikan kepada saksi yang berstatus terdakwa tersebut
adalah dalam bentuk ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikan
suatu tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke pengadilan
atau dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan saksi tersebut.5 Dalam
perkembangannya, ternyata muncul berbagai pendapat, baik yang berasal dari
praktisi maupun akademisi, mengenai penggunaan saksi mahkota sebagai alat
bukti dalam pemeriksaan perkara pidana. Sebagian pihak berpendapat bahwa
penggunaan saksi mahkota dibolehkan karena bertujuan untuk tercapainya rasa
keadilan publik. Namun sebagian berpendapat, bahwa penggunaan saksi mahkota
tidak dibolehkan karena bertentangan dengan hak asasi dan rasa keadilan
terdakwa.
3 http://mmsconsulting.wordpress.com/2008/07/31/eksistensi-saksi-mahkota-sebagai-alatbukti-
dalam-perkara-pidana/, di akses pada hari Kamis, Tanggal 08 Oktober 2009, jam 22:12 WIB.
4 Lilik Mulyadi, Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana : Teori, Praktik, Teknik
Penyusunan dan Permasalahannya, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2007, hlm 85-86.
5 ibid
4
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas maka penulis
mengajukan perumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana mekanisme penentuan saksi mahkota berdasarkan praktik
peradilan?
2. Bagaimana kekuatan pembuktian saksi mahkota berdasarkan praktik
peradilan?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana mekanisme penentuan saksi mahkota
berdasarkan praktik peradilan.
2. Untuk mengetahui bagaimana kekuatan pembuktian saksi mahkota
berdasarkan praktik peradilan.
D. Tinjauan Pustaka
Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang
didakwakan, merupakan bagian yang terpenting acara pidana. Bagaimana
akibatnya jika seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan
yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim,
padahal tidak benar. Untuk inilah maka hukum acara pidana bertujuan untuk
5
mencari kebenaran materiil.6 Pada dasarnya hampir tidak ada perbedaan
pemeriksaan saksi dengan tersangka. Baik mengenai tata cara pemanggilannya
maupun cara pemeriksaan, bahkan pengaturannya dalam KUHAP hampir
seluruhnya diatur dalam pasal-pasal yang bersamaan, tidak dipisah dalam aturan
pasal yang berbeda.7
Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian atau “the degree of
evidence” keterangan saksi, agar keterangan saksi atau kesaksian mempunyai
nilai serta kekuatan pembuktian, perlu diperhatikan beberapa pokok ketentuan
yang harus dipenuhi oleh seorang saksi. Artinya, agar keterangan seorang saksi
dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian,
harus dipenuhi aturan ketentuan sebagai berikut: 8
1. Harus mengucapkan sumpah atau janji,
2. Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti,
3. Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan,
4. Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup,
5. Keterangan bebarapa saksi yang berdiri sendiri.
Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam
perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak ada perkara pidana yang luput dari
pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara
pidana, selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi. Sekurang-
6 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm 249.
7 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan
Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm 141.
8 M. Yahya Harahap, Op.cit, hlm 286-290.
6
kurangnya disamping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu
diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.
Saksi menduduki peran dan fungsi yang penting dalam suatu pemeriksaan
perkara disidang pengadilan. Tanpa adanya saksi, suatu tindak pidana akan sulit
diungkap kebenarannya. Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam
perkara pidana yang berupa keterangan mengenai suatu atau semua hal yang ia
lihat, ia dengar atau ketahui tentang suatu kejahatan atau perbuatan yang
dilakukan oleh terdakwa dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.9
Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses
pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa.
Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang
“tidak cukup” membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa,
terdakwa “dibebaskan” dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa
dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti disebut dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu:
1. Alat bukti yang sah ialah:
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa.
9 http://racifmultiply.com/journal/item/21, di akses pada hari Rabu, Tanggal 07 Oktober 2009,
jam 10:38 WIB.
7
2. Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Terdakwa dinyatakan “bersalah”. Kepadanya akan dijatuhi hukuman.
Oleh karena itu, hakim harus hati-hati, cermat, dan matang menilai dan
mempertimbangkan nilai pembuktian. Meneliti sampai dimana batas minimum
“kekuatan pembuktian” atau bewijs kracht dari setiap alat bukti yang disebut
dalam Pasal 184 KUHAP.
Suatu keterangan tentang perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa,
dimana keterangan tersebut ada hubungannya dengan tindak pidana yang
dilakukan oleh terdakwa, maka dapat digunakan sebagai sangkaan adanya
perbuatan pidana yang dilakukan oleh terdakwa. Penentuan perbuatan pidana
didahului oleh timbulnya dugaan atau sangkaan tentang suatu perbuatan yang
akan ditetapkan kebenarannya secara lengkap dengan mengadakan seleksi
keadaan-keadaan dan merangkai kejadian-kejadian.10
Dalam hal ini hakim ketua sidang mengingatkan saksi tentang hal itu serta
meminta keterangan mengenai perbedaan yang ada dan dicatat dalam berita acara
pemeriksaan sidang. Penolakan saksi untuk diperiksa dan diminta keterangannya
serta keterangan saksi yang berbeda dengan keterangan yang diberikan dalam
berita acara pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik, merupakan hambatan
bagi hakim guna menemukan kebenaran materiil dalam penyelesaian perkara
10 Bambang Poernomo, Pokok-pokok Tata Acara Peradilan Pidana Indonesia, Yogyakarta,
Liberty, 1986, hlm 12.
8
pidana. Untuk menjatuhkan pidana terhadap terdakwa, hakim disamping
mendengar keterangan dari saksi juga mendengarkan keterangan dari terdakwa.11
Sebagaimana diungkapkan oleh Djoko Prakosa:
“Dari keterangan yang diberikan terdakwa dapat ditarik suatu petunjuk, karena
itulah keterangan saksi dan keterangan terdakwa mempunyai kedudukan yang
sangat penting dalam pemeriksaan perkara pidana dipersidangan.”12
Alat bukti saksi mahkota pengaturannya tidak terdapat dalam KUHAP,
walaupun dalam KUHAP tidak ada definisi otentik mengenai saksi mahkota
namun dalam praktik dan berdasarkan perspektif empirik saksi mahkota itu ada.
Namun demikian, ketentuan Pasal 168 huruf c KUHAP merupakan dasar
pengaturan terhadap eksistensi saksi mahkota. Penggunaan saksi mahkota sebagai
alat bukti dalam perkara pidana dibolehkan. Jadi disini penggunaan saksi
mahkota dibenarkan didasarkan pada prinsip-prinsip tertentu yaitu: 13
1. Dalam perkara delik penyertaan,
2. Terdapat kekurangan alat bukti,
3. Diperiksa dengan mekanisme pemisahan (splitsing).
Terdakwa bergantian menjadi saksi atas perkara yang dia sendiri ikut serta
didalamnya. Sebenarnya bertentangan dengan larangan mendakwa diri sendiri,
karena dia sebagai saksi akan disumpah yang dia sendiri juga menjadi terdakwa
11 Djoko Prakoso, Alat bukti dan Kekuatan pembuktian di dalam proses Pidana, Yogyakarta,
Liberty, 1988, hlm 68
12.ibid
13 http://sofyanlubis.blogspot.com/2008/07/saksi-mahkota.html, di akses pada hari Sabtu,
Tanggal 10 oktober 2009, jam 22:47 WIB.
9
atas perkara itu. Terdakwa tidak disumpah, berarti jika dia berbohong tidak
melakukan delik sumpah palsu. Jika saksi berbohong dapat dikenai sumpah palsu.
Jadi, bergantian menjadi saksi dari para terdakwa berarti mereka didorong untuk
bersumpah palsu, karena pasti akan meringankan temannya, karena dia sendiri
juga ikut serta melakukan delik itu, dan memberatkan terdakwa.14
Saksi mahkota juga pelaku, diajukan sebagai terdakwa yang dakwaannya
sama dengan terdakwa yang diberikan kesaksian. Saksi yang disumpah harus
berkata benar tentang yang ia lihat, ia dengar, dan ia alami, kalau tidak dapat
dipidana atas kesaksiannya. Saksi mahkota mengalami tekanan psikis, karena
secara implisit membuktikan perbuatan yang ia lakukan kesaksian yang benar
akan diancam pidana dalam posisinya sebagai terdakwa tidak dapat mengingkari
atau membela diri, karena terikat sumpah kala jadi saksi. Adanya alasan klasik
yang dikemukakan Penuntut Umum, bahwa untuk memenuhi dan mencapai rasa
keadilan publik sebagai dasar argumentasi diajukannya saksi mahkota bukan
merupakan hal yang menjustifikasi penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti
sudah tidak bisa ditoleransi lagi.15
14 Andi Hamzah, Op. Cit, hlm 271-272.
15 ibid
10
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian normatif, yakni penelitian
dengan studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum, baik bahan hukum
primer, bahan sekunder, maupun bahan hukum tersier dan atau bahan non
hukum. Penelusuran bahan-bahan hukum tersebut dapat dilakukan dengan
membaca, melihat, mendengarkan, maupun sekarang banyak dilakukan
penelusuran bahan hukum tersebut melalui media internet.
2. Narasumber:
Ibu Eka Ratna W, S.H. selaku Hakim di Pengadilan Negeri Bantul.
3. Sumber Data
a. Bahan hukum primer adalah peraturan perundang-undangan dan dokumen
resmi yang berhubungan erat dengan permasalahan yang diteliti. Bahan
hukum penelitian ini bersumber dari:
1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana,
2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981, tentang Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP),
b. Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder dalam
penelitian ini bersumber dari:
1) Literatur-literatur hukum pidana, terutama yang berkaitan dengan
saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana.
11
2) Makalah-makalah dan hasil penelitian terdahulu yang berkaitan
dengan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana.
c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, sebagai
contoh adalah Kamus Hukum, Penerbit ”Citra Umbara” Bandung.
4. Teknik pengumpulan data.
Pengumpulan data dilakukan dengan Penelitian Kepustakaan:
Kepustakaan, yaitu mencari dan mengumpulkan data yang diperoleh dari
buku-buku literatur, tulisan para ahli dan peraturan perundang-undangan.
5. Analisis Data.
Dalam penelitian ini menggunakan analisa kualitatif yang berupa
meyederhanakan data kedalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan di
interpretasikan. Analisa ini memandang data sebagai produk dari proses
memberikan interprestasikan peneliti yang ada didalamnya sudah terkandung
makna yang mempunyai refrensi pada nilai. Dengan demikian data yang
dihasilkan merupakan konstuksi interaksi antara peneliti dengan informan.
Kegiatan analisis dalam penelelitian kualitatif hanya merupakan rekonstruksi
sebelumnya. Dari pandangan tersebut penelitian kualitatif memproses data
penelitian dari reduksi data, penyajian data sampai pada pengambilan
kesimpulan.
12
F. Sistimatika Penulisan Skripsi
BAB I Pada bab pendahuluan berisi penyajian materi sebagaimana
diuraikan dalam bagian pokok usulan penelitian. Bab pendahuluan
terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, metode penelitian dan sistimatika penulisan skripsi.
BAB II Bab ini menguraikan tentang tinjauan tentang pembuktian,
pengertian hukum pembuktian, sistem pembuktian serta alat bukti.
Dalam alat bukti ini diterangkan tentang keterangan saksi,
keterangan ahli, alat bukti surat, alat bukti petunjuk dan keterangan
terdakwa.
BAB III Bab ini menguraikan tentang saksi dalam pemeriksaan perkara
pidana, mencakup tentang pengertian saksi, hak dan kewajiban
sebagai saksi, macam-macam saksi: Saksi Aquit de Charge, saksi
Aquit Charge, saksi mahkota, dan saksi korban.
BAB IV Dalam bab ini tentang penyajian data dimana berisi data atau faktafakta
yang sudah dikumpulkan dan relevan serta melakukan
pengkajian terhadap penelitian terhadap penelitian yang didapat.
Pada bab ini berisi tentang mekanisme penentuan saksi mahkota
berdasarkan praktik peradilan dan kekuatan pembuktian saksi
mahkota berdasarkan praktik peradilan.
BAB V Menyajikan kesimpulan dimana merupakan pernyataan singkat
tentang hasil akhir yang mengaitkan antara landasan teoritik yang
13
dijadikan pijakan dengan hasil analisis data yang diperoleh. Bagian
saran menurut pernyataan berdasarkan pengalaman dan
pertimbangan peneliti bagi semua pihak yang mempunyai kaitan dan
kepentingan dengan obyek penelitian.
Kamis, 03 Mei 2012
KESAKSIAN MELALUI vIDEO cONFERENCE DALAM PERKARA PIDANA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Perkembangan
teknologi dewasa ini sangat pesat, terutama teknologi di bidang komunikasi dan
informasi. Perkembangan teknologi tersebut membawa pengaruh yang sangat besar
pada kehidupan masyarakat, salah satunya yakni penggunaan satelit untuk
komunikasi. Melalui satelit ini kita dapat mengetahui perkembangan di berbagai
balahan dunia melalui berbagai media. Seperti televisi, telepon selular (Hand Phone), Internet (International Networking yang merupakan
salah satu cara berkomunikasi melalui media komputer yang menggunakan jaringan
telepon atau satelit), dan masih banyak lagi media yang dapat menghubungkan
kita dengan orang lain di berbagai tempat.
Pada saat
sekarang ini kembali teknologi memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk
berkomunikasi yakni “video Conference”. Sebelumnya
masyarakat hanya dapat berbicara dan mendengarkan suara lawan bicara dari jauh
keberadaan secara langsung melalui pesawat telepon saja. Tetapi dengan
teknologi Video Conference, kita
tidak hanya mendengar suara orang lain dari jauh untuk berkomunikasi, tetapi juga
menyajikan gambar secara virtual (menyajikan gambar orang yang kita ajak untuk
berkomunikasi pada saat itu juga). Sehingga seolah-olah kita berhadapan dengan
lawan bicara kita, walaupun sebenarnya lawan bicara kita berada ditempat yang
jauh (di luar negeri misalnya).
Sebenarnya
teknologi virtual ini sudah dikenal di Indonesia sejak era 90-an dimana pada
saat itu Presiden Soeharto masih berkuasa. Beliau sering mengadakan “tele wicara” yang di siarkan secara
langsung oleh TVRI setiap bulannya. Dalam acara tersebut Presiden Soeharto
menggunakan media Televisi dan telepon (pihak TVRI bekerjasama dengan Telkom)
untuk dapat langsung berbicara dengan
rakyat yang ada di berbagai belahan Nusantara. Presiden Soeharto berada di
Jakarta dan rakyat yang diajak berdialog berada di Kalimantan misalnya. Tetapi
dengan media Video conference tersebut
seolah-olah rakyat berbicara dan bertatap muka secara langsung dengan
Presidennya.
Perkembangan
teknologi melalui Video leconference
sebagai media komunikasi membawa dampak yang sangat besar di Indonesia
khususnya dalam bidang hukum.
Pemanfaatan
teknologi Video conference di bidang
hukum di Indonesia dimulai pada saat persidangan kasus penyimpangan dana non-budgeter Bulog atas nama terdakwa Akbar Tanjung. Saat
itu mantan Presiden BJ. Habibie yang menjadi saksi dalam kasus tersebut tidak
dapat dihadirkan ke persidangan karena pada saat itu beliau berada di Hamburg Jerman
dan tidak dapat datang ke Indonesia dengan alasan menunggu istrinya yang sedang
sakit. Dengan alasan tersebut kemudian pihak Pengadilan Jakarta Pusat
berinisiatif untuk mengambil jalan pintas dengan mengadakan suatu Video conference whitness atau kesaksian
secara Video conference. Kesaksian Video conference tersebut diadakan di
kantor Konsul Jendral Indonesia di Hamburg Jerman, dan disiarkan secara live oleh satu stasiun swasta di
Indonesia.
Setelah
pemberian kesaksian melalui video
conference yang dilakukan oleh mantan
Presiden BJ. Habibie, selanjutnya giliran saksi-saksi kasus pelanggaran HAM berat
di Timor-Timur yang meminta PN Jakaarta Pusat untuk mengambil kesaksian mereka
secara video conference demi alasan
keamanan dan efisiensi waktu dalam hal ini PN Jakarta Pusat dengan berbagai
pertimbangan itu akhirnya mengabulkan permintaan mereka untuk mengambil
kesaksian dari saksi tersebut secara video
conference. Kesaksian video
conference tersebut dilaksanakan di
kota Dilli, sementara terdakwa duduk di kursi pesakitan PN Jakarta Pusat.
Begitu pula
dengan persidangan Abu Bakar ba’asyir, terdakwa kasus rencana pengeboman
beberapa gereja di malam Natal tahun 2000 dan rencana pembunuhan Megawati Soekarno
Putri yang pada saat itu masih menjabat sebagi Wakil Presiden.
Saksi-saksi
yang akan memberikan kesaksiannya dalam persidangan tersebut berada di
Singapura dan status mereka adalah tahanan pihak kepolisian negara Singapura.
Tidak gampang untuk menghadirkan Faiz Bafana dan ja’far bin Misrooki ke ruang
sidang untuk memberikan keterangannya sebagai saksi mengingat statusnya
tersebut.
Maka dari
itu digunakanlah media video conference untuk
memberikan kesaksian pada persidangan Abu Bakar Ba’asyir. Para saksi memberikan
keterangannya dari bekas gedung Kementrian Dalam Negeri Singapura kepada sidang
yang digelar di PN Jakarta Pusat.
Kesaksian
yang disampaikan melalui media video
conference seperti contoh yang ada merupakan langkah yang besar dan baru di
dalam dunia hukum, khususnya hukum acara di Indonesia. Penggunaan teknologi video conference ini memang tidak
sepenuhnya disetujui oleh pakar-pakar hukum dan praktisi hukum di Indonesia.
Satu sisi menyetujui kesaksian yang disampaikan secara video conference tersebut, sedangkan banyak pula dari kalangan
pakar dan praktisi hukum yang tidak setuju apabila kesaksian yang disampaikan
secara video conference atau tidak hadir secara langsung didalam acara
persidangan.
Menurut
Prof. Achmad Ali, akademisi yang juga anggota Komnas HAM, berpendapat bahwa
selama video conference belum diatur
dalam hokum positif Indonesia, maka video
conference tidak dapat digunakan sebagai alat bukti. Karena itu, keterangan
saksi dengan menggunakan video conference
tidak sah. KUHAP menentukan ada tiga kewajiban dari seorang saksi. Pertama,
kewajiban untuk menghadap sendiri di mukan persidangan. Kedua, kewajiban untuk
disumpah. Tiga, kewajiban untuk memberikan keterangan tentang apa yang ia lihat
sendiri, ia dengar sendiri, dan ia alami sendiri. Dengan menggunakan video conference terhadap mereka yang
dianggap saksi dalam kasus, seperti kasus Abu Bakar Ba’asyir ada dua
kewajiban saksi yang tidak terpenuhi.
Yaitu kewajiban untuk menghadap sendiri di persidangan, dan kewajiban untuk
disumpah. Dalam kasus Abu Bakar Ba’asyir, saksi adalah warga Negara Singapura
dan kesaksian diberikan di wilayah Singapura yang jelas di luar yuridiksi
pengadilan Indonesia. Karena itu, menurut Prof. Achmad Ali, sumpah para saksi
itu tidak bernilai sumpah karena tidak mempunyai akibat hukum. Padahal sesuai
Pasal174 ayat 1 dan ayat 2 KUHAP, pada hakikatnya fungsi sumpah bagi seorang
saksi adalah agar saksi itu dapat dituntut berdasarkan delik pidana bila
memberikan keterangan palsu sesuai Pasal 242 KUHP.
Menurut Prof.
Achmad Ali, sumpah yang diberikan oleh seorang warganegara asing, di Negara
asing tidak mungkin dapat dituntut berdasarkan Pasal 242 KUHP. Karena Pasal 242
KUHP itu adalah hukum positif Indonesia yang hanya berlaku di dalam Yurisdiksi
Indonesia. Oleh karena itu, meskipun saksi-saksi mengucapkan sumpah di Singapura,
tetapi menurut hukum Indonesia sumpah itu tidak mempunyai akibat hukum sehingga
harus dianggap bukan perbuatan hukum.
Hal tersebut
dikarenakan memang saat ini belum ada suatu kesepakan hukum dari para praktisi
hukum untuk menetapkan ketentuan yang menyatakan bahwa suatu keterangan saksi
dalam bentuk video conference dapat
dijadikan sebagai kesaksian yang sah di pengadilan yang dipersamakan dengan
kesaksian secara langsung di muka pengadilan.
Pada Hukum
Acara Pidana dalam hal alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 tidak ada
menerangkan bahwa pemberian kesaksian menggunakan video conference. Jadi sebagaimana alat bukti yang diatur dalam
KUHAP tidak lagi dapat mengakomodir perkembangan sekarang.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Hasanudin, prof.
Andi Hamzah dan Wakil Ketua DPP Ikadin, Gayus Lumbun mempunyai pendapat senada
dengan Prof. Achmad Ali. Menurut Andi, Video Conference
bukanlah merupakan alat bukti saksi. Video Conference
hanya dapat dijadikan alat untuk
menguatkan keyakinan hakim. Itu pun dengan beberapa syarat, seperti Video Conference harus dilakukan di kantor perwakilan Indonesia di
luar negeri. Selain itu, mereka yang memberikan kesaksian di luar negeri
melalui Video
Conference harus didampingi JPU
dan pengacara terdakwa. Dalam kasus Ba’asyir misalnya, teleconference harus
dilakukan di kantor perwakilan Indonesia di Singapura dan dihadiri JPU serta
pengacara Ba’asyir.
Sedangkan menurut Muchsan video conference adalah sebuah
terobosan yang dapat dilakukan oleh hakim untuk menemukan hukum (rechtsvinding).
Menurutnya, jika suatu hal belum diatur, maka itu tidak berarti hal itu menjadi
dilarang. Apalagi Video Conference dilakukan
demi kemanfaatan dan demi kepentingan umum. Muchsan membandingkan dengan
Berita Acara Pemeriksaan (BAP) saksi yang bisa dibacakan dan dianggap sah jika
saksi tidak hadir di persidangan. "Dibandingkan Video Conference, validitasnya tinggi mana," cetus hakim agung
yang baru dilantik ini. Apalagi, saksi dalam BAP yang dibacakan itu disumpah
oleh polisi. "Apakah sah jika polisi menyumpah saksi," ujarnya
lagi. Senada dengan Muchsan, Arsyad menyatakan bahwa keterangan saksi
melalui Video
Conference adalah keterangan saksi
yang nilainya sama dengan saksi yang disumpah. Arsyad mencontohkan berbagai
persidangan di Amerika Serikat yang menggunakan Video Conference.
Berdasarkan
latar belakang di atas penulis tertarik untuk mengambil judul penelitian
“Kesaksian Melalui Video Converence
Dalam Proses Perkara Pidana.
B.
Rumusan masalah
Rumusan masalah yang diangkat yakni tentang “Kekuatan pembuktian kesaksian
melalui video conference dalam
perkara pidana”.
C.
Tujuan dan Mandaat
Adapun
tujuan dan manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a.
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui kekuatan pembuktian kesaksian melalui
Video Conference dalam perkara
pidana.
b.
Manfaat penulisan
1.
Manfaat
Akademis
Dengan
penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi
mahasiswa sebagai bahan bacaan dalam ilmu pengetahuan khususnya di bidang ilmu
hukum.
2.
Manfaat
Teoritis
Dapat
menambah pengetahuan mahasiswa karena menjadi bahan bacaan dalam mempelajari
ilmu-ilmu hukum yang setiap saat semakin berkembang serta mampu menjadi sumber
refrensi bagi mahasiswa.
3.
Manfaat
Praktis
Diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi
mahasiswa terkait dengan penggunaan alat elektronik berupa media Video Conference dalam p1erkara pidana.
D.
Ruang Lingkup Penelitian
Untuk mencegah agar pembahasan tidak terlalu luas dan
lebih terarahnya di dalam melakukan penelitian ini diperlukan pembatasan ruang
lingkup penelitian. Adapun ruang lingkupnya menitik beratkan pada bagaimana
kekuatan pembuktian kesaksian melalui video
conference dalam penyelesaian perkara pidana.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.
Kekuatan alat bukti
Dikaji dari perspektif sistem peradilan pidana pada
umumnya dan hukum, acara pidana (formeel
strafreht) pada khususnya maka aspek “pembuktian” memegang peranan
menentukan untuk menyatakan kesalahan seseorang sehingga dijatuhkan pidana oleh
hakim[1].
Apabila dilihat dari letaknya dalam kerangka
yuridis, maka aspek “pembuktian” tampak diatur dalam ketentuan hukum pidana
formal:
a.
Umum
Dikaji secara umum “pembuktian” berasal dari kata
“bukti” yang berarti suatu hal (peristiwa dan sebagainya) yang cukup untuk
memperlihatkan kebenaran suatu hal (peristiwa tersebut). Pembuktian adalah
perbuatan membuktikan. Membuktikan sama dengan memberi (memperlihatkan) bukti,
melakukan sesuatu sebagai kebenaran, menyaksikan, dan meyakinkan[2].
b. Makna
Leksikon
Dikaji dari makna
leksicon maka “pembuktian” adalah suatu proses, cara, perbuatan membuktikan,
usaha menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa dalam sidang pengadilan[3].
c.
Prespektif
yuridis
Dikaji dari perspektif yuridis, menurut M.
Yahya Harahap bahwa:
“pembuktian” adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan
pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan Undang-Undang membuktikan kesalahan
yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang
mengatur alat bukti yang boleh digunakan hakim guna membuktikan kesalah
terdakwa. Pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan
kesalahan terdakwa”. [4]
Dalam hal ini terdapat 4 (empat) teori pembuktian
yaitu :
a. Teori pembuktian positif. Bahwa bersalah
atau tidaknya terdakwa tergantung sepenuhnya pada sejumlah alat bukti yang
ditetapkan terlebih dahulu (keyakinan hakim diabaikan).
b. Teori pembuktian negatif, bahwa hakim hanya
boleh menjatuhkan pidana apabila sedikit-dikitnya alat-alat yang telah
ditentukan dalam undang-undang, ditambah dengan keyakinan hakim yang diperoleh
dari adanya alat-alat bukti.
c. Teori pembuktian bebas, bahwa mengakui adanya
alat-alat bukti dan cara pembuktian namun tidak ditentukan dalam Undang-Undang.
d. Teori berdasarkan keyakinan, bahwa hakim
menjatuhkan pidana semata-mata berdasarkan keyakina pribadinya dan dalam
putusannya tidak perlu menyebutkan alasan-alasan putusannya.
Pada dasarnya, “pembuktian ini sudah dimulai
sebenarnya pada tahap penyelidikan perkara pidana. Dalam tahap penyelidikan di
mana tindakan penyidik untuk mencari dan menentukan sesuatu peristiwa yang
diduga sebagai tindak pidana guna dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan,
maka disini sudah ada tahap pembuktian. Begitu pula halnya dengan penyidikan di
mana ditentukan adanya tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti
dan dengan bukti tersebut membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya. Karena itu, dengan tolak ukur ketentuan Pasal 1 angka 2
dan angka 5 KUHAP, untuk dapat dilakukannya tindakan penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan di sidang pengadilan maka bermula dilakukan penyelidikan dan
penyidikan sehingga sejak tahap awal diperlukan adanya pembuktian dan alat-alat
bukti. Konkritnya “pembuktian berawal dari penyelidikan dan berakhir sampai
adanya penjatuhan pidana (vonis) oleh hakim di depan pengadilan, baik di
tingkat pengadilan negeri maupun di pengadilan tinggi jika perkara tersebut
dilakukan upaya hukum banding.
Peroses “pembuktian” hakikatnya memang lebih
dominan pada sidang pengadilan guna menemukan kebenaran materil akan peristiwa
yang terjadi dan memberikan keyakinan kepada hakim tentang kejadian tersebut
sehingga hakim dapat memberikan putusan seadil mungkin.
Sidang pengadilan merupakan aspek esensial dan
fundamental pembuktian, baik dilakukan oleh jaksa penuntut umum, terdakwa dan
atau bersama penasihat hukumnya, maupun oleh majelis hakim. Walaupum tahap awal
“pembuktian” ini bersama-sama dilakukan, peroses akhir “pembuktian” berakhirnya
tidaklah sama. Proses awal “pembuktian” di depan sidang pengadilan mulai dengan
pemeriksaan saksi korban (Pasal 160 ayat (1) huruf b KUHAP). Akan tetapi, bagi
jaksa penuntut umum proses akhir pembuktian berakhir dengan diajukan tuntutan
pidana yang dapat dilanjutkan dengan replik.
Kemudian, bagi terdakwa dan atau penasihat hukumnya akan berakhir dengan
dibacakan pembelaan (pledoi), yang
dapat dilanjutkan dengan acara dupliek.
Sedangkan bagi majelis hakim berakhirnya proses pembuktian ini diakhiri dengan
adanya pembacaan putusan (vonis, baik
di pengadilan negeri maupun pengadilan tinggi jika perkara tersebut dilakukan
upaya hukum banding. Namun, sebenarnya pembuktian tersebut hakikatnya mempunyai
dua dimensi sebagai suatu proses pidana yang dilakukan mulai tahap penyelidikan
sebagai awalnya dan tahap penjatuhan pidana oleh hakim sebagai tahap akhirnya.
Dari pemahaman tentang arti pembuktian di
sidang pengadilan, maka sesungguhnya kegiatan pembuktian dapat dibedakan
menjadi dua bagian, yaitu:[5]
a. Bagian
kegiatan pengungkapan fakta
Kegiatan pemeriksaan alat-alat bukti yang
diajukan di muka sidang pengadilan oleh JPU dan PH atau atas kebijakan majelis
hakim. Proses pembuktian akan berakhir pada saat ketua majelis hakim. Proses
pembuktian bagian pertama ini akan berakhir pada saat ketua majelis hakim
menyatakan (diucapkan secara lisan) dalam sidang bahwa pemeriksaan perkara
selesai (Pasal 182 ayat (1) huruf a). Dimaksudkan selesai dalam Pasal ini tiada
lain adalah selesai pemeriksaan untuk mengungkapkan atau mendapatkan
fakta-fakta (termasuk pemeriksaan setempat).
b.
Bagian
pekerjaan penganalisisan fakta yang sekaligus penganalisisan hukum.
Bagian pembuktian yang berupa penganalisisan
fakta-fakta yang didapat dalam persidangan dan penganalisisan hukum
masing-masing oleh tiga pihak tadi. Oleh JPU pembuktian dalam arti kedua ini
dilakukannya dalam serat tuntutannya (requisitor). Bagi PH pembuktiannya
dilakukan dalam nota pembelaan (pledoi) dan majelis hakim akan dibahasnya dalam
putusan akhir (vonis) yang dibuatnya.
Dikaji dari perspektif hukum acara pidana maka
“hukum pembuktian” ada, lahir, tumbuh, dan berkembang dalam rangka untuk
menarik suatu konklusi atau kesimpulan bagi hakim di depan sidang pengadilan
untuk menyatakan terdakwa terbukti ataukah tidak melakukan suatu tindak pidana
yang didakwakan oleh penuntut umum dalam surat dakwaannya dan akhirnya
dituangkan hakim dalam rangka menjatuhkan pidana kepada terdakwa. Penjatuhan
pidana oleh hakim tentang “hukum pembuktian” ini secara umum berorientasi pada
ketentuan Pasal 183 KUHAP yang menentukan bahwa:
“hakim tidak
boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya”.
Dalam hukum acara pidana, macam-macam alat bukti serta
cara penggunaannya dan batas-batasnya telah ditentukan dalam KUHAP. Penegakan
hukum pidana materil melalui hukum pidana formil secara umum termasuk perihal
pembuktian yang tetap tunduk dan diatur dalam KUHAP, namun demikian didalam
hukum pidana khusus, ada pula ketentuan hukum acara yang sifatnya khusus yang
merupakan pengecualian.
2.
Keterangan Saksi
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana terhadap seseorang kecuali sekurang-kurangnya dengan dua
alat bukti yang sah dalam setiap pemeriksaan dengan cara biasa, singkat maupun
cepat. Setiap alat bukti tersebut dipergunakan untuk membantu hakim dalam
keputusannya. Menurut Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
alat bukti yang sah dalam perkara pidana
salah satunya yakni keterangan saksi atau kesaksian.
Pada dasarnya secara teoritis, fundamental, dan
limitatif alat bukti keterangan saksi diatur dalam Pasal 184 ayat (1) huruf a
KUHAP. Jika diteliti lebih detail, cermat, dan terperinci, terhadap aspek saksi
dikenal sebagai “person”(Bab 1 Pasal
1 angka 26 KUHAP) dan sebagai “alat bukti” (Bab 1 ayat (1) angka 27 KUHAP jis
Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP, Pasal 185 ayat (1) KUHAP).
“Saksi adalah orang yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu
perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”. (Pasal 1 butir 26 KUHAP)
“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang
berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari
pengetahuannya itu”. (Pasal 1 butir 27 KUHAP)
Apabila dibandingkan makna ”saksi” (Bab 1
Pasal 1 angka 26 KUHAP) dan “keterangan saksi” ( Bab 1 Pasal 27 KUHAP), menurut
asumsi dasar penulis haruslah dibedakan penerapannya. Jika dipandang secara
teoritis, memang rasanya tidak ada perbedaan gradual antara “saksi” dan
“keterangan saksi” dan adanya kesamaan “person”.
Akan tetapi, jika melalui visi yuridis dan praktik pengadilan pada asasnya
telah timbul perbedaan antara “saksi dan “keterangan saksi”.
Apabila seseorang yang mendengar, melihat, dan
mengalami sendiri suatu perkara pidana kemudian orang tersebut dimintai
keterangannya serta dibuatkan berita acara pemeriksaan (BAP), secara yuridis
orang tersebut dimintai keterangannya serta distatusnya masih sebagai “saksi”
(Bab 1 Pasal 1 angka 26 KUHAP) dan belum pula sebagai “keterangan saksi” (Bab 1
Pasal 1 angka 27 KUHAP) karena keterangan tersebut belum “saksi nyatakan di
sidang pengadilan” (Pasal 185 ayat (1) KUHAP).
Bagaimana halnya pula apabila sampai tetap (incraht van gewijsde) saksi itu tidak pernah didengar
keterangannya di depan peersidangan? Menurut penulis, pemberian keterangan
tersebut bukanlah diklasifikasikan sebagai “keterangan saksi” (Pasal 1 angka 27
KUHAP jis Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP, Pasal 185 ayat (1) KUHAP),
melainkan sebatas saksi selaku “person”
(Bab 1 ayat (1) KUHAP). Tidak ada satu perkara pidana yang lepas dari
pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua perkara pidana, selalu
didasarkan kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping
pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih tetap selalu diperlukan
pembuktian alat bukti keterangan saksi.[6]
Saksi merupakan pihak yang telah terlibat dalam
perkara pidana. Ia menduduki peran dan fungsi yang penting dalam suatu
pemeriksaan perkara disidang pengadilan. Tanpa adanya saksi, suatu tindak
pidana akan sulit diungkap kebenarannya. Maksud menanyai saksi adalah
memberikan kesempatan untuk menyatakan bahwa tersangka tidak bersalah, ataupun
jika bersalah mengakui kesalahannya.[7]
Keterangan saksi dalam kedudukannya sebagai alat bukti
dimaksudkan untuk membuat terang suatu perkara yang sedang diperiksa diharapkan
dapat menimbulkan keyakinan pada hakim, bahwa suatu tindak pidana itu benar-benar
telah terjadi dan terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut.
Menjadi saksi adalah suatu kewajiban setiap orang, orang yang menjadi saksi
setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan untuk memberikan keterangan, tetapi dengan menolak kewajiban itu saksi
dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan Undang-undang yang berlaku.
Dalam Pasal 185 ayat (5) KUHAP dinyatakan bahwa baik
pendapat maupun rekaan yang diperoleh dari hasil saja, bukan merupakan
keterangan saksi. Dan dalam Pasal 185 ayat (1)
dikatakan “dalam keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang
diperoleh dari orang lain atau atau testimonium de auditu”.
Dari keputusan-keputusan
hakim mengenai kesaksian de
auditu nyatalah bahwa tidak dapat dirumuskan secara jelas bahwa kesaksian
itu diterima ataukah tidak sebagai alat bukti, tetapi tergantung dari
kenyataan-kenyataan kasus demi kasus.
Apabila dikaji dari visi praktik peradilan pada
hakikatnya agar keterangan saksi tersebut mempunyai nilai pembuktian hendaknya
harus memenuhi hal-hal sebagai berikut:
1. Syarat
formal
Perihal syarat formal ini dalam peraktik
asasnya diartikan bahwa:
a. Keterangan
saksi tersebut “harus” diberikan di bawah sumpah atau janji menurut cara
agamanya masing-masing bahwa ia akan memberikan keterangan sebenarya dan tidak
lain daripada sebenarnya. Berdasarkan ketentuan KUHAP maka syarat formal
“keharusan” mengucapkaan sumpah bagi seorang saksi adalah mutlak sifatnya.
b. Agar
dihindari adanya keterangan seorang saksi saja oleh karena aspek ini tidaklah
cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang
didakwakan kepadanya (Pasal 185 ayat (2) KUHAP). Hal ini lazim disebut “unus testis nullus testis”.
2. Syarat
materil
Syarat materil dapat di lihat dari ketentuan
Pasal 1 angka 27 jo Pasal 185 ayat (1) KUHAP dimana ketentuan itu bahwa
“keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang
pengadilan mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu”.
Jadi konkretnya secara materil saksi tersebut
menerangkan tentang apa yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami
sendiri. Dengan demikian jelaslah sudah baik terhadap pendapat maupun rekaan
yang diperoleh dari hasil rekaan saja, bukan merupakan keterangan saksi (Pasal
185 ayat (5) KUHAP) sehingga dalam penilaian kebenaran keterangan saksi menurut
ketentuan Pasal 185 ayat (6) KUHAP.
3.
Pengertian Tindak Pidana
Pemakaian istilah tindak pidana sudah agak tetap digunakan oleh pembentuk Undang-undang
karena mempunyai sociologsche geiding,
namun para sarjana masih tetap bersikukuh menggunakan istilah mereka sendiri.
Sebelumnya Prof.Moeljanto membedakan antara
dua istilah mengenai tindak pidana dan perbuatan jahat, yang dalam hal ini
dapat di pidananya perbuatan lain halnya dengan dapat dipidananya orangnya.
Pandangan seperti ini disebut dengan pandangan dualistis yang merupakan opposite dari pandangan monistis, yang
melihat keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu kesemua merupakan sifat dari
perbuatan.[8]
Dalam kitab undang-undang hukum pidana yang berlaku
sekarang diadakan dua macam pembagian tindak pidana, yaitu kejahatan yang
ditempatkan dalam Buku ke II dan pelanggaran yang ditempatkan dalam Buku ke
III. Ternyata dalam KUHP, tiada satu Pasal pun yang memberikan dasar pembagian
tersebut, walaupun pada bab-bab dari buku I selalu ditemukan penggunaan istilah
tindak pidana, kejahatan atau pelanggaran. Kiranya ciri-ciri pembedaan itu
terletak pada penilaian kesadaran hukum pada umumnya dengan penekanan (stressing)
kepada delik hukum (rechts-delichten) dan delik undang-undang (wet-delichten).
Beberapa sarjana mengemukakan sebagai dasar pembagian
tersebut bahwa delik hukum sudah sejak semula dapat dirasakan sebagai tindakan
yang bertentangan dengan hukum sebelum pembuat undang-undang menyatakan dalam Undang-Undang.
Sedangkan delik Undang-Undang baru dipandang/dirasakan sebagai tindakan yang
bertentangan dengan hukum, setelah ditentukan dalam Undang-Undang.
Sebagai contoh dari delik hukum antara lain adalah
pengkhianatan, pembunuhan, pencurian, perkosaan, penghinaan dan sebagainya, dan
contoh dari delik undang-undang antara lain adalah pelanggaran, peraturan lalu
lintas di jalan, peraturan pendirian perusahaan, peraturan pengendalian harga
dan lain sebagainya. Sarjana lain yaitu VOS tidak dapat menyetujui bilamana
dikatakan bahwa dasar pembagian pelanggaran adalah karena sebelumnya
tindakan-tindakan tersebut tidak dirasakan sebagai hal yang melanggar kesopanan
atau tak dapat dibenarkan oleh masyarakat (zedelijk of maatschappelijk
ongeoorloofd)[9], karena
:
a. Ada pelanggaran yang diatur dalam
Pasal-Pasal 489, 490 KUHP yang justru dapat dirasakan sebagai yang tidak dapat
dibenarkan oleh masyarakat dan
b. Ada beberapa kejahatan seperti
Pasal 396 (merugikan kreditur) yang justru dapat dirasakan sebelumnya sebagai
tindakan yang melanggar kesopanan.
Dasar pembedaan lainnya dari kejahatan dan pelanggaran
yang dikemukakan adalah pada berat/ringannya pidana yang diancamkan. Seyogyanya
untuk kejahatan diancamkan pidana yang berat seperti pidana mati atau
penjara/tutupan. Ternyata pendapat ini menemui kesulitan karena pidana kurungan
dan denda diancamkan, baik pada kejahatan maupun pelanggaran.
Dari sudut pemidanaan, pembagian kejahatan sebagai
delik hukum atau pelanggaran sebagai delik undang-undang, tidak banyak
faedahnya sebagai pedoman. Demikian pula dari sudut ketentuan berat/ringannya
ancaman pidana terhadapnya, seperti yang dikemukakan di atas, sulit untuk
dipedomani. Dalam penerapan hukum positif tiada yang merupakan suatu kesulitan,
karena dengan penempatan kejahatan dalam buku kedua dan pelanggaran dalam buku
ketiga, sudah cukup sebagai pedoman untuk menentukan apakah sesuatu tindakan
merupakan kejahatan atau pelanggaran.
Mengenai tindak pidana yang diatur dalam perUndang-Undangan
lainnya setingkat dengan KUHP telah ditentukan apakah ia merupakan kejahatan
atau pelanggaran. Sedangkan tindak pidana yang diatur dalam peraturan yang
lebih rendah tingkatannya (peraturan pemerintah, peraturan-peraturan
gubernur/kepala daerah dan sebagainya) pada umumnya merupakan pelanggaran.
Kegunaan pembedaan kejahatan terhadap pelanggaran, kita temukan dalam
sistematika KUHP yang merupakan “buku induk” bagi semua perundang-undangan
hukum pidana. Sedangkan istilah tindak pidana merupakan salah satu terjemahan
dari bahasa Belanda yaitu “Het Strafbare feit” yang setelah
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti :
a.
Perbuatan yang dapat / boleh di hukum
b.
Peristiwa pidana
c.
Perbuatan pidana dan
d.
Tindak pidana
Beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para sarjana
mengenai istilah “Het Strafbaar feit” antara lain [10] :
a.
Menurut Simon merumuskan “Een Strafbaar feit”
adalah suatu handeling (tindakan/perbuatan) yang diancam dengan pidana
oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan
dengan kesalahan (schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab.
Kemudian beliau membaginya dalam dua golongan unsur, yaitu : unsur-unsur
objektif yang berupa tindakan yang dilarang/diharuskan, akibat keadaan/masalah
tertentu, dan unsur subjektif yang berupa kesalahan (schuld) dan
kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar) dari petindak.
b.
Menurut Van Hammel “Strafbaar feit” itu sama dengan yang dirumuskan oleh
Simon, hanya ditambah dengan kalimat “tindakan mana bersifat dapat dipidana”.
c.
Menurut VOS “Strafbaar feit” adalah suatu kelakukan (gedraging) manusia yang
dilarang dan oleh undang-undang diancam dengan pidana.
d.
Menurut Pompe “Strafbaar feit” adalah suatu pelanggaran kaidah
(penggangguan ketertiban hukum),
terhadap mana pelaku mempunyai kesalahan untuk mana pemidanaan adalah wajar
untuk menyelenggarakan ketertiban hukum dan menjamin kesejahteraan umum.
Para sarjana Indonesia juga telah memberikan definisi
mengenai tindak pidana ini, yaitu :[11]
a.
Kami mendefinisikan tindak pidana sebagai perbuatan yang boleh dihukum.
b.
R. Tresna mendefinisikan tindak pidana sebagai peristiwa pidana.
c.
Moeljatno mendefinisikan tindak pidana sebagai perbuatan pidana.
d.
Wirdjnono Prodjodikoro mendefinisikan tindak pidana sebagai suatu
perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. dan pelaku itu dapat
dikatakan merupakan “subjek” tindak pidana.
Setelah melihat pendapat beberapa ahli
mengenai pengertian tindak pidana, maka selanjutnya dapat dikatakan bahwa
tindak pidana adalah terdiri dari dua suku kata yaitu tindak dan pidana.
Istilah tindak dan pidana adalah merupakan singkatan dari tindakan dan
penindak. Artinya ada orang yang melakukan suatu tindakan, sedangkan orang yang
melakukan tindakan itu dinamakan penindak. Mungkin suatu tindakan dapat
dilakukan oleh siapa saja, tetapi dalam banyak hal suatu tindakan tertentu
hanya mungkin dilakukan oleh seseorang dari suatu golongan jensi kelamin saja,
atau seseorang dari suatu golongan yang bekerja pada negara/pemerintah (pegawai
negeri, militer, nakhoda dan sebagainya) atau seseorang dari golongan lainnya.
Jadi status/kualifikasi seseorang petindak harus ditentukan apakah ia salah
seorang dari “barang siapa”, atau seseorang dari suatu golongan tertentu. Bahwa
jika ternyata petindak itu tidak hanya orang (natuurlijk-persoon) saja
melainkan juga mungkin berbentuk badan hukum [12].
Setiap tindakan yang bertentangan dengan
hukum atau tidak sesuai dengan hukum, menyerang kepentingan masyarakat atau
individu yang dilindungi hukum, tidak disenangi oleh orang atau masyarakat,
baik yang langsung atau tidak langsung terkena tindakan tersebut. Pada umumnya
untuk menyelesaikan setiap tindakan yang sudah dipandang merugikan kepentingan
umum di samping kepentingan perseorangan, dikehendaki turun tangannya penguasa.
Apabila penguasa tidak turun tangan, maka tindakan-tindakan tersebut akan
merupakan sumber kekacauan yang tak akan habis-habisnya. Demi menjamin
keamanan, ketertiban dan kesejahteraan dalam masyarakat, perlu ditentukan
mengenai tindakan-tindakan yang dilarang atau yang diharuskan. Sedangkan
pelanggaran kepada ketentuan tersebut diancam dengan pidana. Singkatnya perlu
ditentukan tindakan-tindakan apa saja yang dilarang atau diharuskan dan
ditentukan ancaman pidananya dalam perundang-undangan[13].
Di dalam hukum pidana perumusan pidana harus jelas
karena hal ini merupakan prinsip kepastian hukum dalam suatu pemerintahan. Dan
di dalamnya memuat mengenai apa saja yang dilarang dan atau apa yang
diperintahkan. Segala perbuatan yang mempunyai sifat atau ciri-ciri sebagaimana
telah ditetapkan dalam undang-undang dapat dikatakan sebagai perbuatan yang
memenuhi rumusan delik dalam Undang-Undang.
Perumusan tersebut dilakukan dengan berupa suatu
larangan dan perintah untuk berbuat atau untuk tidak berbuat sesuatu. Yang
dalam hal ini perintah dan larangan tersebut dikenal dengan istilah norma. Dan
atas pelanggaran terhadap norma dikenal dengan pidana yang kemudian si pembuat
akan dikenakan sanksi.
4.
Video
Conference
Video Conference atau konferensi video merupakan bagian dari
dunia teleconferen. Video conference dapat
diartikan sesuai dengan suku kata, yaitu video
= video, conference = konferensi.
Makan video conference adalah
konferensi video dimana data yang di transmisikan adalah dalam bentuk video
atau audio visual.[14]
Video conference adalah telekomunikasi dengan menggunakan audio
dan video sehingga terjadi pertemuan ditempat yang berbeda-beda. Ini bisa berupa antara dua lokasi
yang berbeda (point to point) atau
mengikutsertakan beberapa lokasi sekaligus di dalam satu ruangan konferensi (multi point).
Video conference merupakan suatu teknologi yang mengembirakan
dan menambah semangat kita untuk bergabung dengan internet, penggunaan
teknologi video conference yakni
penggunaan video/teknologi suara dan komputer yang memungkinkan orang pada
lokasi yang berjauhan untuk saling melihat, mendengar, dan berbicara satu sama
lain. Teknologi video conference ini dapat memungkinkan orang saling berkomunikasi
secara tatap muka, dengan kata lain berkomunikasi secara visual. Komunikasi
visual yakni sebuah teknologi komunikasi yang terdiri dari dua orang atau lebih
pada lokasi yang berbeda yang dapat di lihat dan di dengar secara bersamaan
pada waktu yang bersamaan.[15]
Pada dasarnya ada dua jenis sistem konferensi
video:
a.
Sistem
terdedikasi mempunyai semua komponen yang dibutuhkan dikemas ke dalam satu
peralatan, biasanya sebuah konsol dengan kamera video pengendali jarak jauh
kualitas tinggi. Kamera ini dapat dikontrol dari jarak jauh untuk memutar ke
kiri dan kanan, atas dan bawah serta memperbesar, yang kemudian dikenal sebagai
kamera PTZ. Konsol berisi semua hubungan listrik, kontrol komputer, dan
perangkat lunak atau perangkat keras berbasis codec. Mikrofon omnidirectional
terhubung ke konsol seperti monitor televisi dengan pengeras suara dan/atau
proyektor video. Ada beberapa jenis perangkat yang didedikasikan untuk
konferensi video:
1. Konferensi
video kelompok besar: non-portabel, besar, perangkat yang digunakan lebih mahal
untuk ruangan besar dan auditorium.
2. Konferensi
video kelompok kecil: non-portabel atau portabel, lebih kecil, perangkat lebih
murah yang digunakan untuk ruang rapat kecil.
3. Konferensi
video individual: biasanya perangkat portabel, dimaksudkan untuk satu pengguna,
mempunyai kamera tetap, mikrofon, dan pengeras suara terintegrasi ke dalam
konsol.
b. Sistem
desktop biasanya menambahkan papan perangkat keras ke komputer pribadi normal
dan mentransformasikannya menjadi perangkat konferensi video. Berbagai kamera
dan mikrofon berbeda dapat digunakan dengan papan, yang berisi codec yang
diperlukan dan pengiriman tatap muka. Sebagian besar sistem desktop bekerja
dengan standar H.323. Konferensi video dilakukan melalui komputer yang
tersebar, yang juga dikenal sebagai emeeting.[16]
Komunikasi visual sangat diperlukan dalam
kondisi yang tidak memungkinkan pertemuan pada lokasi dengan waktu yang
diinginkan. Dengan kondisi seperti itulah maka di perlukan komunikasi visual
agar dapat berkomunikasi walaupun pada lokasi yang berbeda atau berjauhan,
dalam komunikasi visual ini yang paling penting dan harus menjadi dan harus menjadi
perhatian adalah video.
Dalam
perembangann teknologi komunikasi, dimana tuntutan kebutuhan pelayanan bagi
pengguna jasa komunikasi makin tinggi, dalam menyampaikan ide dan pendapat
tidak hanya audio saja akan tetapi dipergunakan juga visualnya, oleh karena itu
dibutuhkan komunikasi yang dapat mengirimkan audio visualnya. Video conference memakai telekomunikasi
audio dan video untuk membawa orang ke tempat berbeda dalam waktu yang
bersamaan untuk pertemuan.[17]
Saat ini Video
conference sudah banyak digunakan
dalam berbagai bidang. Misalnya dalam dunia peradilan hukum yang memanfaatkan Video conference sebagai sarana untuk
memberikan kesaksian jarak jauh.
Penerapan video
conference untuk penghadiran saksi dalam Persidangan Pidana menimbulkan
perdebatan panjang. Disatu sisi perkembangan hukum ketinggalan jauh dengan
perkembangan masyarakat, apalagi bila diperbandingkan dengan kemajuan teknologi
sedangkan disisi lainnya, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
sebagai basis acara Pemeriksaan Perkara Pidana tidak mengaturnya.
Pasal 185 KUHAP ayat (1) yang isinya sebagai berikut
"keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di
sidang pengadilan".
Kalimat yang saksi nyatakan di sidang pengadilan
inilah yang menjadi titik tolak perdebatan. Disatu pihak mengatakan bila saksi
tidak hadir langsung secara fisik kedepan persidangan kesaksiannya tidak sah,
di pihak lain menyatakan bahwa dengan menggunakan media video conference saksi sudah hadir dipersidangan, karena keterangan
saksi tetap dapat di Cross-Check oleh kedua belah pihak dan fisik saksi dapat
dilihat pada layar monitor yang ada.[18]
Dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, memiliki kekhususan secara formil
dibandingkan KUHAP. Salah satu kekhususan terkait penggunaan alat bukti yang
merupakan pembaharuan proses pembuktian dalam KUHAP. Pengaturan mengenai alat
bukti pada Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tersebut terlihat dalam Pasal 27,
yaitu sebagai berikut:
Alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme
meliputi:
1. Alat bukti
sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana.
2. Alat bukti lain
berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara
elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
3. Data, rekaman,
atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat
dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas
kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik,
termasuk tetapi tidak terbatas pada :
a.
Tulisan, suara, atau gambar.
b.
Peta, rancangan, foto, atau sejenisnya.
c.
huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki
makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
BAB III
METODE PENELITIAN
Agar penelitian yang dilakukan dapat mengahasilkan
jawaban sekaligus suatu pemecahan yang sejalan dengan pokok pokok permasalahan,
maka metode penelitian yang dilakukan sebagai berikut:
1.
Metode Pendekatan
Dalam penelitian ini metode pendekatan yang dipergunakan
adalah:
a.
melalui pendekatan perundang-undangan, artinya secara
yuridis pembahasan penulis berpedoman pada peraturan yang dapat dijadikan dasar
untuk menganalisis gejala hukum yang timbul.
b.
Melalui konseptual, artinya pendekatan yang dilakukan dengan cara melihat dari
pandangan-pandangan (doktrin), asas, prinsip dan teori yang berkaitan dengan
permasalahan dalam usulan penelitian penyusun.
2.
Sumber dan jenis bahan hukum
Sumber dan jenis bahan hukum yang diproleh dari
kepustakaan yang berupa bahan-bahan hukum yaitu :
a. Bahan hukum
primer, yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak
yang berwenang, yakni berupa Undang-undang, Peraturan Pemerintahan.
b. Bahan hukum
sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian
tentang kesaksian mmelalui video
conference dalam perkara pidana seperti majalah, karya tulis ilmiah dan
beberapa sumber dari situs internet yang berkaitan dengan persoalan diatas.
c. Bahan hukum
tersier, yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep yang mendukung bahan
hukum primer dan sekunder, seperti kamus, ensiklopedia, biografi dan lain-lain.
3.
Metode Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam penelitian ini, maka metode yang digunakan adalah metode kepustakaan
(library research). Yakni metode yang menggunakan bahan sekunder yang
tertulis sebagai pedoman. Dan selain buku ilmiah, maka penulis juga
mengumpulkan bahan-bahan referensi yang berasal dari internet.
4.
Analisis Bahan Hukum
Analisis
yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode analogi, yaitu membanding-bandingkan hal atau kejadian untuk
menemukan kesamaan dan perbedaan, untuk kemudian berdasarkan temuan itu ditarik
suatu kesimpulan.[19]
Data sekunder yang telah diperoleh kemudian dianalisa cara
semaksimal mungkin memakai bahan-bahan yang ada yang berdasarkan asa-asas,
pengertian serta sumber-sumber hukum yang ada dan menarik kesimpulan dari bahan
yang ada tersebut.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
KEKUATAN PEMBUKTIAN KESAKSIAN MELALUI VIDEO CONFERENCE DALAM PERKARA PIDANA.
Sebelum peneliti membahas secara
terperinci tentang kekuatan pembuktian kesaksian melalui video conference, terlebih dahulu penulis menguraikan tentang dasar
hukum pembuktian dan sistem pembuktian dalam perkara pidana, alat-alat bukti
dan kekuatan pembuktian, serta kekuatan pembuktian kesaksian melalui video conference dalam perkara pidana. Sebab hal-hal tersebut
memiliki relevansi dengan sub pokok bahasan.
A. Dasar Hukum Pembuktian Dan Sistem Pembuktian Dalam Perkara Pidana
Dasar hukum
pembuktian dalam hukum acara pidana mengacu pada Pasal 183-189 KUHAP. Pembuktian
merupakan bagian yang terpenting dari keseluruhan proses pemeriksaaan perkara
disidang pengadilan, baik perkara pidana maupun perdata karena dari sinilah
akan ditarik suatu kesimpulan yang dapat mempengaruhi keyakinan hakim dalam
menilai perkara yang diajukan. Hakim memberikan putusanya berdasarkan atas
penilaianya terhadap pembuktian.
Dalam kamus
Indonesia disebutkan bahwa pengertian pembuktian secara umum adalah perbuatan
(hak dan sebagainya) membuktikan, sedangkan membuktikan berarti:[20]
1.
Memberi
(memperlihatkan bukti);
2.
Melakukan
sesuatu sebagai bukti kebenaran, melaksanakan (cita-cita dan sebagainya);
3.
Menandakan,
menyatakan (bahwa sesuatu benar);
4.
Meyakinkan,
menyaksikan.
Pembuktian menurut Yahya Harahap adalah ketentuan-ketentuan
yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan
undang-undang untuk membuktikan keseluruhan yang didakwakan pada terdakwa, pembuktian
dapat pula diartikan sebagai ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang
dibenarkan undang-undang dan yang boleh dipergunakan hakim untuk membuktikan
kesalahan yang didakwakan.[21]
Ditinjau dari segi hukum acara pidana,
pembuktian merupakan ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usahanya
mencari dan mempertahankan kebenaran. Hakim, penuntut umum, terdakwa, maupun
penasehat hukum, masing-masing terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian
alat bukti yang ditentukan Undang-Undang, artinya, bahwa dalam mempergunakan
dan menilai kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti hakim,
jaksa, terdakwa, maupun penasehat hukum harus melaksanakanya dalam batas-batas
yang dibenarkan Undang-Undang.
Kegiatan pembuktian diharapkan dapat
memperoleh kebenaran secara hukum karena pembuktian dalam hukum acara pidana
bertujuan untuk mencari kebenaran materil. Hal ini berbeda dengan pembuktian
dalam hukum acara perdata yang menitik beratkan pada kebenaran formal.
Kebenaran dalam perkara pidana merupakan kebenaran kebenaran yang disusun dan
didapatkan dari jejak, kesan dan refleksi dari keadaan dan atau benda yang
dapat berkaitan dengan kejadian masa lampau yang diduga menjadi perbuatan
pidana.
Suatu pembuktian
menurut hukum pada dasarnya merupakan proses untuk menentukan subtansi atau
hakekat mengenai adanya fakta-fakta yang diperoleh melalui ukuran yang layak
dengan pikiran yang logis terhadap fakta-fakta pada masa lalu yang tidak terang
menjadi fakta-fakta yang terang dalam hubunganya dengan perkara pidana.
Membuktikan suatu perkara pidana pada hakekatnya merupakan penelitian dan
koreksi dalam menghadapi masalah dari berbagai fakta untuk mendapatkan suatu
kesimpulan dengan metode ilmu logika.
Memang cukup rumit
menemukan kebenaran materil karena hal ini sangat bergantung pada berbagai
aspek. Menurut R. Wirjono Projodikoro sebagai berikut:
”kebenaran
biasanya hanya mengenai keadaan-keadaan yang tertentu yang sudah lampau. makin
lama waktu lampau itu, makin sukar bagi hakim untuk menyatakan kebenaran atas
keadaan-keadaan itu. Oleh karena roda pengalaman di dunia tidak mungkin diputar
balikkan lagi, maka kepastian seratus persen, bahwa apa yang diyakini oleh
hakim tentang suatu keadaan, betul-betul sesuai dengan kebenaran, tidak mungkin
di capai. Maka, acara pidana sebetulnya hanya dapat menunjukkan jalan untuk
berusaha guna mendekati sebanyak mungkin persesuaian antara keyakinan hakim dan
kebenaran yang sejati. Untuk mendapatkan keyakinan ini, hakim membutuhkan
alat-alat guna menggambarkan lagi keadaan-keadaan yang sudah lampau:. [22]
Dalam menerapkan
”pembuktian” hakim lalu bertitik tolak pada ”sistem pembuktian” dengan tujuan
mengetahui bagaimana cara meletakkan suatu hasil pembuktian terhadap perkara
pidana yang sedang di adilinya.
Secara teoritis
guna menerapkan sistem pembuktian asasnya dalam ilmu pengetahuan acara pidana
dikenal adanya tiga teori tentang sistem pembuktian, yakni:
1.
Sistem
pembuktian menurut Undang-Undang secara Positif
Pada dasarnya
sistem pembuktian menurutUndang-Undang secara positif berkembang sejak Abad
pertengahan. Menurut teori ini, sistem pembuktian positif bergantung pada
alat-alat bukti sebagaimana disebut dalam Undang-Undang.
Dalam teori ini
undang-undang menentukan alat bukti yang dipakai oleh hakim cara bagaimana
hakim dapat mempergunakannya, asal alat-alat bukti itu telah diapakai secara
yang ditentukan oleh Undang-Undang, maka hakim harus dan berwenang untuk
menetapkan terbukti atau tidaknya suatu perkara yang diperiksamya. Walaupun
barangkali hakim sendiri belum begitu yakin atas kebenaran putusannya itu.
Jika di kaji
secara hakiki, ternyata sistem pembuktian positif mempunyai segi negatif dan
positif. Hal ini tampak melalui asumsi M. Yahya Harahap sebagai berikut:
”pemuktian
menurut Undang-Undang secara positif, keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian dalam
pembuktian kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim dalam sistem ini tidak ikut
berperan menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman pada
prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan Undang-Undang. Untuk
membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata digantungkan kepada
alat-alat bukti yang sah. Asal sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan
pembuktian menurut Undang-Undang. Sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa
tanpa mempersoalkan keyakinan hakim. Apakah hakim yakin atau tidak tentang
kesalahan terdakwa, bukan menjadi masalah. Pokoknya, apabila sudah dipenuhi
cara-cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang,
hakim tidak lagi menanyakan keyakinan hati nuraninya akan kesalahan terdakwa.
Dalam sistem ini, hakim seolah-olah robot pelaksana Undang-Undang yang tidak
memiliki hati nurani. Hati nuraninya seolah-olah tidak ikut hadir dalam
menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Meskipun demikian, dari satu segi sistem
ini mempunyai kebaikan. Sistem ini benar-benar menuntut hakim suatu kewajiban
mencari dan menemukan kebenaran salah atau tidaknya terdakwa sesuai dengan tata
cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan Undang-Undang.
Dari sejak semula pemeriksaan perkara, hakim harus melemparkan dan
mengesampingkan jauh-jauh faktor keyakinannya. Hakim semata-mata berdiri tegak
pada nilai pembuktian objektif tanpa mencampur adukkan hasil pembuktian yang
diperoleh di persidangan dengan unsur-unsur subjektif keyakinan nuraninya.
Sekali hakim majelis menentukan hasil pembuktian yang objektif sesuai dengan
cara dan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang, mereka tidak perlu
lagi menanya dan menguji hasil pembuktian tersebut dengan keyakinann hati”.[23]
2.
Sistem
pembuktian menurut keyakinan hakim
Pada sistem
pembuktian berdasarkan keyakinan hakim maka hakim dapat menjatuhkan putusan
berdasarkan ”keyakinan” dengan tidak terikat oleh peraturan. Dalam
perkembangannya lebih lanjut sistem pembuktian berdaasarkan keyakinan hakim
mempunyai dua bentuk yaitu:
a.
Conviction intime
Yakni kesalahan
terdakwa bergantung paada keyakinan belaka sehingga hakim tidak terikat oleh
suatu peraturan. Dengan demikian, putusan hakim tampak timbul nuansa
subyektifnya. Misalnya, dalam putusan hakim dapat berdasarkan pada mistik,
keterangan medium, dukun, dan sebagainya sebagaimana pernah diterapkan dahulu
pada praktik peradilan. Apabila di kaji dan di telaah secara mendalam,
mendetail, dan substansial, penerapan
sistem pembuktian ”conviction intime” mempunyai
subyek, yaitu:
”sistem
pembuktian conviction intime menentukan
salah tidaknya terdakwa, semata-mata oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan
hakimlah yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim
menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini.
Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan dari alat-alat bukti yang diperiksanya
dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu
diabaikan hakim dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan
terdakwa. Sistem pembuktian conviction
intime ini, sudah barang tentu mengandung kelemahan. Hakim dapat saja
menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas ’dasar keyakinan’
belaka tanpa didukung oleh alat-alat bukti yang cukup. Sebaliknya, hakim
leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukannya walaupun
kesalahan terdakwa telah cukup bukti dengan alat-alat bukti yang lengkap,
selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Jadi dalam sistem pembuktian conviction intime, sekalipun
kesalahan sudah cukup terbukti, pembuktian yang cukup itu dapat dikesampingkan
oleh keyakinan hakim. Sebaliknya, walaupun kesalahan terdakwa ’tidak terbukti’
berdasar alat-alat bukti yang sah, terdakwa bisa dinyatakan bersalah
semata-mata atas ’dasar keyakinan’ hakim. Keyakinan hakimlah yang ’dominan’
atau yang paling menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Seolah-olah
menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim semata-mata.
Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaransejati dalam sistem
pembuktian ini.[24]
b.
Conviction raisonce
Yakni keyakinan
hakim tetap memegang peranan penting untuk menentukan tentang kesalahan
terdakwa. Akan tetapi, penerapan keyakinan hakim tersebut dilakukan secara
selektif dalam artian keyakinan hakim ”dibatasi” dengan harus didukung oleh
”alasan-alasan jelas dan rasional” dalam mengambil keputusan. Andi Hamzah menyebutkan
bahwa:
”sistem atau
teori pembuktian jalan tengah atau yang berdassarkan keyakinan hakim sampai
batas tertentu ini terpecah kedua jurusan. Yang pertama yang tersebut diatas
yaitu pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis (conviction reisonne) dan yang
kedua ialah teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatife wettelijke bewlijs theorie).
Persamaan
keduanya ialah sama berdasar atas keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak
mungkin di pidana tanpa adanya keyakinan hakim bahwa ia bersalah. Perbedaannya
ialah bahwa yang tersebut pertama berpangkal tolak pada keyakinan hakim, tetapi
keyakinan itu harus di dasarkan kepada suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak di dasarkan kepada
Undang-Undang, tetapi ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan pembuktian
yang mana yang ia akan pergunakan. Sedangkan yang kedua berpangkal tolak pada
aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif oleh Undang-Undang.
Kemudian, pada yang pertama dasarnya ialah suatu yang tidak di dasarkan
Undang-Undang, sedangkan pada yang kedua di dasarkan kepada ketentuan
Undang-Undang yang disebut secara limitatif.”[25]
3.
Sistem
pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif
Pada prinsipnya
sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif (negatief wettelijke bewijs theorie) menentukan bahwa hakim hanya
boleh menjatuhkan pidana terhadap terdakwa jika alat bukti tersebut secara
limitatif ditentukan oleh Undang-Undang dan didukung pula oleh adanya keyakinan
hakim terhadap eksistensinya alat-alat bukti tersebut. Dari aspek historis
ternyata sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif tentulah
melekat adanya:
a.
Prosedural
dari tata cara pembuktian sesuai dengan alat-alat bukti sebagainya limitatif
ditentukan Undang-Undang
b.
Terhadap
alat-alat bukti tersebut hakim yakin, baik secara materil maupun secara
prosedurral
Menurut teori ini hakim hanya boleh menjatuhkan
pidana apabila sedikit-dikitnya alat-alat bukti yang telah di tentukan
undang-undang itu ada, ditambah dengan keyakinan hakim yang didapat dari adanya
alat-alat bukti itu.
Dalam pasal 183 KUHAP menyatakan sebagai berikut :
“ hakim tidak boleh menjatuhkan
pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar
terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Atas dasar ketentuan pasal 183 KUHAP ini, maka
dapat disimpulkan bahwa KUHAP memakai sistem pembuktian menurut Undang-Undang yang
negatif. Ini berarti bahwa dalam hal pembuktian harus dilakukan penelitian,
apakah terdakwa cukup alasan yang didukung oleh alat pembuktian yang ditentukan
oleh Undang-Undang ( minimal dua alat bukti ) dan kalau ia cukup, maka baru
dipersoalkan tentang ada atau tidaknya keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa.
Teori pembuktian menurut Undang-Undang negatif
tersebut dapat disebut dengan negative
wettelijk, istilah ini berarti : wettelijk,
berdasarkan Undang-Undang sedangkan negatif, maksudnya adalah bahwa walaupun
dalam suatu perkara terdapat cukup bukti sesuai dengan Undang-Undang, maka
hakim belum boleh menjatuhkan hukuman sebelum memperoleh keyakinan tentang
kesalahan terdakwa.
Dalam sistem pembuktian yang negatif alat-alat
bukti limitatif di tentukan dalam Undang-Undang dan bagaimana cara
mempergunakannya hakim juga terikat pada ketentuan Undang-Undang.
Selanjutnya
perpaduan antara sistem pembuktian negataif dan keyakinan hakim ini melekat
pula adanya unsur-unsur objektif dan subjektif dalam menentukan terdakwa
bersalah ataukah tidak. hal ini di tegaskan oleh M. Yahya Harahap sebagai
beerikut:
”dengan demikian,
sistem ini memadukan unsur-unsur objektif dan subjektif dalam menentukan salah
atau tidaknya seorang terdakwa. Tidak ada yang paling dominan di antara kedua
unsur tersebut. Karena kalau salah satu unsur di antara kedua unsur itu tidak
ada, berarti belum cukup mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa. Misalnya,
ditinjau dari segi ketentuan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut
Undang-Undang, kesalaahan terdakwa jelas cukup terbukti, hakim sendiri tidak
yakin akan kesalahan terdakwa yang sudah terbukti tadi. Maka, dalam hal seperti
ini terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah. Sebaliknya, hakim benar-benar yakin
terdakwa sungguh-sungguh bersalah melakukan kejahatan yang didakwakan. Akan
tetapi, keyakinan tersebut tidak di dukung dengan pembuktian yang cukup menurut
tata cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang. Dalam hal
seperti ini pun terdakwa tidak dapat dinyatakan berssalah. Oleh karena itu,
diantara kedua komponen tersebut harus saling mendukung.”[26]
Dari ketiga teori
tersebut di atas, sistem pembuktian yang selaras dengan ketentuan dalam
KUHAP dan polarisasi penerapannya pada
kecenderungan praktik pradilan maka sebenarnya praktek pradilan selintas dan
tampak penerapan Pasal 183 KUHAP pada sistem pembuktian menurut Undang-Undang
secara positif (positief wettelijke
bewijs theorie) di mana unsur ”sekurang-kurangnya dua alat bukti” merupakan
aspek dominan, sedangkan segmen ”keyakinan hakim” hanyalah bersifat ”unsur
pelengkap” oleh karena tanpa adanya aspek tersebut semenjak era KUHAP tidak
mengakibatkan batalnya putusan dan praktiknya hanya ”diperbaiki” dan ditambahi
pada tingkat banding dan kasasi.
B.
Alat-Alat Bukti Dan Kekuatan Pembuktian
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa
hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali dengan
sekurang-kurangya dengan dua alat bukti yang sah dalam setiap pemeriksaan,
apakah itu pemeriksaan dengan cara biasa, singkat maupun cepat. Setiap alat
bukti itu dipergunakan guna membantu hakim untuk mengambil keputusannya.
Alat-alat bukti yang boleh diajukan dalam
persidangan telah ditetapkan oleh KUHAP dalam Pasal 184, yaitu :
1.
Keterangan saksi;
2.
Keterangan ahli;
3.
Surat;
4.
Petunjuk;
5.
Keterangan terdakwa.
Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan
pembuktian keterangan saksi, agar keterangan saksi atau kesaksian mempunyai
nilai serta kekuatan pembuktian, perlu diperhatikan beberapa pokok ketentuan
yang harus dipenuhi oleh seorang saksi, yaitu sebagai berikut:
1.
Harus mengucapkan sumpah atau
janji;
2.
Keterangan saksi yang bernilai
sebagi alat bukti.
Keterangan saksi yang mempunyai nilai
ialah keterangan yang sesuai dengan apa yang dijelaskan Pasal 1 angka 27 KUHAP:
1.
Yang saksi lihat sendiri;
2.
Saksi yang ia dengar sendiri;
3.
Saksi alami sendiri;
4.
Serta menyebut alasan dari
pengetahuan itu;
5.
Keterangan saksi harus diberikan
disidang pengadilan
1.
Keterangan Saksi
Pada umumnya semua orang dapat menjadi
saksi. Kecuali menjadi saksi yang tercantum dalam Pasal 168 KUHAP yakni:
a.
Keluarga sedarah atau semenda
dalam garis lurus keatas atau kebawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau
yang bersama-sama sebagai terdakwa;
b.
Saudara dari terdakwa atau yang
bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang
mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai
derajat ketiga;
c.
Suami atau suami terdakwa meskipun
sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
Di samping karena hubungan derajat
kekeluargaan (sedarah atau semenda),ditentukan oleh Pasal 170 KUHAP bahwa
mereka yang karena pekerjaan, harkat, martabat atau jabatannya diwajibkan
menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban memberi keterangan
sebagai saksi.
Menurut penjelasan Pasal tersebut,
pekerjaan atau jabatan yang menentukan adanya kewajiban untuk menyimpan rahasia
ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya dijelaskan bahwa jika tidak
ada ketentuan peraturan perUndang-Undangan yang mengatur tentang jabatan atau
pekerjaan yang dimaksud, maka seperti ditentukan oleh ayat ini, hakim yang
menentukan sah atau tidaknya alasan yang dikemukakan untuk mendapatkan
kebebasan tersebut.
Orang yang harus menyimpan rahasia
jabatan misalnya dokter yang harus merahasiakan penyakit yang diderita oleh
pasiennya. Sedangkan yang dimaksud karena martabatnya dapat mengundurkan diri
adalah pator agama katolik roma. Ini berhubungan dengan kerahasiaan orang-orang
yang melakukan pengakuan dosa kepada pastor tersebut.
Dalam Pasal 170 KUHAP yang mengatur
tentang hal tersebut di atas mengatakan “dapat minta dibebaskan dari kewajiban
untuk memberikan keterangan sebagai saksi….” Maka berarti jika mereka bersedia
menjadi saksi, dapat diperiksa oleh hakim. Oleh karena itulah maka kekecualian
menjadi saksi karena harus menyimpan rahasia jabatan atau karena martabatnya
merupakan kekecualian relatif.
Dalam Pasal 171 KUHAP ditambahkan
kekecualian untuk memberi kesaksian di bawah sumpah ialah:
1.
Anak yang umurnya belum cukup lima
belas tahun dan belum pernah kawin
2.
Orang yang sakit atau sakit jiwa
meskipun ingatannya baik kembali.
Dalam penjelasan Pasal tersebut
dikatakan bahwa anak yang belum berumur lima belas tahun, demikian juga orang
yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila meskipun kadang-kadang saja, yang
dalam ilmu penyakit jiwa disebut psychopaat.
Mereka ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana
maka mereka tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam memberikan keterangan,
karena itu keterangan mereka hanya dipakai sebagai petunjuk saja.
Dalam hal kewajiban saksi mengucapkan
sumpah atau janji. KUHAP masih mengikuti peraturan lama (HIR), dimana di
tentukan bahwa pengucapan sumpah merupakan syarat mutlak suatu kesaksian
sebagai alat bukti.
Dalam Pasal 160 ayat 3 KUHAP dikatakan
bahwa sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji
menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang
sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya.
Pengucapan sumpah itu merupakan syarat
mutlak. Hal ini terdapat dalam Pasal 161 ayat 1 dan 2 KUHAP sebagai berikut:
“Dalam hal saksi atau ahli tanpa alasan
yang sah menolak untuk bersumpah atau berjanji sebagaimana dimaksud dalam Pasal
160 ayat (3) dan ayat (4), maka pemeriksaan terhadapnya tetap dilakukan, sedang
ia dengan surat penetapan hakim ketua sidang dapat dikenakan sandera di tempat
rumah tahanan negara paling lama empat belas hari. (Ayat 1).”
“Dalam hal tenggang waktu penyanderaan
tersebut telah lampau dan saksi atau ahli tetap tidak mau disumpah atau
mengucapkan janji, maka keterangan yang telah diberikan merupakan keterangan
yang dapat menguatkan keyakinan hakim. (Ayat 2).”
Penjelasan Pasal 161 ayat 2 tersebut
menunjukkan bahwa penguncapan sumpah merupakan syarat yang mutlak.
“keterangan saksi atau ahli yang tidak
disumpah atau mengucapkan janji, tidak dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah,
tetapi hanyalah merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim.”
Ini berarti tidak merupakan kesaksian
menurut undang-undang, bahwa juga tidak merupakan petunjuk, karena hanya dapat
memperkuat keyakinan hakim.
Dalam Pasal 185 ayat 5 KUHAP dinyatakan
bahwa baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja,
bukan merupakan keterangan saksi. Di dalam penjelasan Pasal 185 ayat 1 KUHAP
dikatakan bahwa “dalam keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang
diperoleh dari orang lain atau testimonium
de auditu”. Dengan demikian, keterangan saksi yang diperoleh dari orang
lain bukanlah alat bukti sah. Keterangan demikian beerupa keterangan saksi yang
mendengar orang lain mengatakan atau menceritakan sesuatu, atau apa yang ada
dalam ilmu hukum acara pidana disebut testimonium
de auditu.
Menurut Andi Hamzah, sesuai dengan penjelasan KUHAP yang
mengatakan kesaksian de auditu tidak
diperkenankan sebagai alat bukti, dan selaras pula dengan tujuan hukum acara
pidana yaitu mencari kebenaran materil, dan pula untuk perlindungan terhadap
hak-hak asasi manusia, dimana keterangan seorang saksi yang hanya
mendengar dari orang lain, tidak
terjamin kebenarannya. Maka kesaksian de
auditu patut tidak di pakai di Indonesia pula.[27]
Namun demikian, kesaksian de auditu perlu pula didengar oleh
hakim, walaupun tidak mempunyai nilai sebagai bukti kesaksian, tetapi dapat
memperkuat keyakinan hakim yang bersumber kepada dua alat bukti yang lain.
Pada umumnya de auditu diterima sebagai alat bukti tetapi dibatasi pengertiannya
dari pengertian biasa. Tidak diajukan sebagai de auditu atau hearsay
evidence. Misalnya keterangan terdakwa bahwa seseorang telah mengakui
kepadanya bahwa orang itulah yang melakukan kejahatan tersebut.
Selanjutnya dapat dikemukakan adanya
batas nilai suatu kesaksian yang berdiri sendiri dari seorang saksi yang disebut
unus testis nullus testis. Dalam
Pasal 185 ayat 2 KUHAP yang mengatakan bahwa keterangan seorang saksi saja
tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang
di dakwakan kepadanya.
Menurut Simon yang di kutip dalam buku
Andi hamzah,
“suatu keterangan saksi yang berdiri
sendiri tidak dapat membuktikan suatu keadaan tersendiri, suatu petunjuk suatu
dasar pembuktian dan juga ajaran Hoge Raad bahwa dapat diterima keterangan
seorang saksi untuk satu unsure (bestanddeel) delik dan tidak
bertentangan dengan Pasal 342 ayat 2 Ned. Sv”.[28]
Pendapat D. Simons tersebut tidak
bertentangan dengan Pasal 185 ayat 2 dan 4 KUHAP. Jika satu keterangan saksi
berdiri sendiri dipakai sebagai alat bukti untuk suatu keadaan atau suatu unsur
delik.
Pada Pasal 185 ayat 4 KUHAP mengatakan bahwa keterangan
beberapa saksi yang berdiri sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat
digunakan sebagai alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada
hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan
adanya kejadian atau keadaan tertentu.
Menurut KUHAP tentang keterangan satu saksi bukan saksi, hanya
berlaku bagi pemeriksaan biasa dan pemeriksaan singkat. Tidak berlaku bagi
pemeriksaan cepat. Hal ini dapat disimpulkan dari penjelasan Pasal 184 KUHAP
sebagai berikut:
“dalam acara pemeriksaan cepat,
keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah.”
Jadi, ini berarti satu saksi, satu
keterangan ahli, satu surat, satu petunjuk, atau keterangan terdakwa disertai
keyakinan hakim cukup sebagai alat bukti untuk memidana terdakwa dalam perkara
cepat.
2. Keterangan Ahli
Keterangan ahli berbeda dengan
keterangan saksi, tetapi sulit juga dibedakan dengan tegas. Kadang-kadang
seorang ahli merangkap pula sebagai saksi. KUHAP menentukan bahwa saksi wajib
mengungkapkan sumpah (Pasal 160 ayat 3), tanpa menyebutkan ahli. Tetapi pada
Pasal 161 ayat 1 KUHAP dikatakan bahwa “dalam hal saksi atau ahli tanpa alasan
yang sah menolak untuk bersumpah atau berjanji sebagaimana dimaksud dalam Pasal
160 ayat (3) dan ayat (4), maka pemeriksaan terhadapnya tetap dilakukan, sedang
ia dengan surat penetapan hakim ketua sidang dapat dikenakan sandera di tempat
rumah tahanan negara paling lama empat belas hari”. Di sinilah dapat dilihat
bahwa ahli yang dimintai keterangan keterangannya tersebut harus harus
mengucapkan atau janji. Pada penjelasan ayat 2 Pasal tersebut dikatakan
“keterangan saksi atau ahli yang tidak di sumpah atau mengucapkan janji, tidak
dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah, tetapi hanyalah merupakan
keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim”.
Patut diperhatikan bahwa KUHAP
membedakan keterangan seorang ahli di persidangan sebagai alat bukti
“keterangan ahli” (Pasal 186 KUHAP) dan keterangan seorang ahli secara tertulis
di luar sidang pengadilan sebagai alat bukti “surat” (Pasal 187 butir c KUHAP).[29]
Jadi seorang ahli dapat menjadi seorang
saksi, hanya saja saksi ahli tidak mendengar, mengalami dan/ atau melihat
langsung peristiwa pidana yang terjadi. Berbeda dengan saksi biasa yang
memberikan keterangannya tentang apa yang didengar, dialami dan ia lihat
sendiri.
Kekuatan keterangan ahli bersifat bebas
dan tidak mengikat hakim untuk menggunakannya apabila bertentangan dengan
keyakinan hakim. Dalam hal ini hakim masih membutuhkan alat bukti lain untuk
mendapatkan kebenaran yang sesungguhnya.
3.
Alat Bukti Surat
Selain Pasal 184 yang menyebutkan
alat-alat bukti maka hanya ada satu Pasal saja dalam KUHAP yang mengatur
tentang alat bukti surat yaitu Pasal 187. Pasal tersebut terdiri dari 4 ayat,
yaitu:
a. Berita
acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang
berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang
kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai
dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
b. Surat
yang dibuat menurut ketentuan peraturan perUndang-Undangan atau surat yang
dibuat oleh pejabat mengenal hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi
tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau
sesuatu keadaan;
c. Surat
keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya
mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dan
padanya;
d. Surat
lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat
pembuktian yang lain.
Menurut Andi Hamzah mengenai alat bukti
berupa surat “surat-surat ialah segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca
dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi fikiran”[30]
Nilai kekuatan pembuktian surat
sebagaimana diatur dalam KUHAP sama sekali tidak mengatur mengenai ketentuan
khusus tentang kekuatan pembuktian surat, kekuatan pembuktian surat hanya dapat
ditinjau dari segi teori serta menghubungkanya dengan beberapa prinsip
pembuktian yang diatur dalam KUHAP yaitu:
a.
Ditinjau dari segi formal
Ditinjau dari segi formal, alat
bukti surat ytang disebut pada Pasal 187 huruf a, b, dan c adalah alat bukti
yang sempurna sebab bentuk surat-surat yang disebut didalamnya dibuat secara
resmi menurut formalitas yang ditentukan peraturan perundang-undangan, oleh karena itu alat-alat
bukti surat resmi mempunyai nilai pembuktian formal yang sempurna , dengan
sendirinya bentuk dan isi surat tersebut:
1.
Sudah benar, kecuali dapat dilumpuhkan
dengan alat bukti yang lain
2.
Semua pihak tak dapat lagi menilai
kesempurnaan bentuk dan pembuatanya
3.
Tak dapat lagi menilai kebenaran
keterangan yang dituangkan pejabat berwenang didalamnya sepanjang isi
keterangan tersebut tidak dapat dilumpuhkan dengan alat bukti yang lain;
4.
Ditinjau dari segi formal, isi
keterangan yang tertuang didalamnya, hanya dapat dilumpuhkan dengan alat bukti
lain, baik berupa alat bukti keterangan saksi maupun keterangan terdakwa.
b.
Ditinjau dari segi materiil
Ditinjau dari segi materiil, alat
bukti surat dalam Pasal 187, bukan alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat
nilai kekuatan alat bukti surat sama halnya dengan nilai pembuktian keterangan
saksi dan keterangan ahli, dasar alasan ketidakterikatan hakim atas alat bukti
surat tersebut, didasarkan pada beberapa asas antara lain :
1.
Asas proses pemeriksaan perkara
pidana ialah untuk mencari kebenaran materiil atau “kebenaran sejati” (materiel waarheid), bukan mencari
kebenaran formal;
2.
Asas keyakinan hakim, seperti yang
terdapat dalam ketentuan Pasal 183, berhubungan erat dengan ajaran sistem
pembuktian yang dianut dalam KUHAP yaitu sistem pembuktian menurut
undang-undang negatif.
3.
Asas batas minimum pembuktian,
yaitu sekurang-kurang dua alat bukti yang sah.
Selain yenis surat yang disebut
pada Pasal 187 KUHAP, dikenal 3 macam surat, yakni:[31]
a.
Akta autentik
Yakni suatu akta yang dibuat dalam
suatu bentuk tertentu dan dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berkuasa
untuk membuatnya di wilayah yang bersangkutan.
b.
Akta dibawah tangan
Yakni akta akta yang tidak dibuat
di hadapan atau oleh pejabat umum tetapi dibuat sengaja untuk dijadikan bukti.
c.
Surat biasa
Yakni yang dibuat bukan untuk
dijadikan alat bukti.
Ditinjau dari segi nilai pembuktian
surat, bahwa surat resmi/surat autentik yang diajukan dan dibacakan di sidang
pengadilan merupakan alat bukti surat sedangkan surat biasa mempunyai nilai
pembuktian alat bukti petunjuk jika isi surat tersebut bersesuaian dengan alat
bukti sah lain.
Ditinjau dari segi kekuatan
pembuktian surat, bahwa Alat bukti surat resmi/autentik dalam perkara pidana
berbeda dengan perdata. Memang isi surat resmi bila diperhatikan dari segi
materilnya berkekuatan sempurna, namun pada prakteknya terdakwa dapat
mengajukan bukti sangkalan terhadap akta autentik tersebut.
Kekuatan pembuktian dari alat bukti surat adalah kekuatan pembuktian bebas seperti halnya kekuatan pembuktian alat bukti lainnya, disini hakim bebas menentukan apakah alat alat bukti surat tersebut berpengaruh dalam membentuk keyakinan ataupun tidak. Walaupun begitu bukan berarti hakim bisa menyangkal tanpa alasan suatu alat bukti surat yang sudak terbukti kebenarannya dan bersesuaian dengan alat-alat bulkti lainnya
Kekuatan pembuktian dari alat bukti surat adalah kekuatan pembuktian bebas seperti halnya kekuatan pembuktian alat bukti lainnya, disini hakim bebas menentukan apakah alat alat bukti surat tersebut berpengaruh dalam membentuk keyakinan ataupun tidak. Walaupun begitu bukan berarti hakim bisa menyangkal tanpa alasan suatu alat bukti surat yang sudak terbukti kebenarannya dan bersesuaian dengan alat-alat bulkti lainnya
4.
Alat Bukti Petunjuk
Apabila kita bertitik tolak pada Pasal
188 KUHAP yang menentukan bahwa:
(1) Petunjuk adalah perbuatan,
kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan
yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah
terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
(2) Petunjuk sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari ;
a.keterangan saksi;
b. surat;
c.keterangan terdakwa.
(3) Penilaian atas kekuatan pembuktian
dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan
arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan
dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.
Secara teoritis tampaknya ketentuan Pasal 188 KUHAP
tidaklah menimbulkan permasalahan fundamental. Akan tetapi, apabila ditinjau
dari praktik pradilan, selintas ketentuan Pasal 188 KUHAP menimbulkan
problematik yuridis di dalamnnya, singkatnya, jika ditelaah lebih intens dan
detail, aspek tersebut dapatlah diperinci sebagai berikut:
a.
Bahwa konkretnya redaksi awal
ketentuan Pasal 188 ayat 2 KUHAP ada menentukan kata “diperoleh” berarti
“diambil dari menyimpulkan” yang hanya dapat ditarik atas keterangan saksi,
surat, dan keterangan terdakwa. Sekarang yang menjadi permasalahan adalah
anasir ketentuan Pasal 188 ayat 2 KUHAP berssifat alternatif ataukah komulatif?
Jika
kita bertitik tolak pada ketentuan teoritis berdasarkan penjelasan Pasal 188
KUHAP disebutkan dengan kalimat singkat “cukup jelas”. Namun, menurut persepsi
penulis dengan dimensi praktik pradilan tampaknya ketentuan Pasal 188 ayat 2
KUHAP dapat ditafsirkan, baik berhsifat
alternatif maupun komulatif. Dengan pedoman dasar kalimat “hanya” pada awal
ketentuan Pasal 188 ayat 2 KUHAP maka dapatlah diartikan sifat alternatif bisa
timbul dari keterangan saksi saja sudah merupakan suatu “petunjuk”. Logika hal
ini dapat dilihat khususnnya terhadap tindak pidana kesusilaan, seperti zina,
perkosaan, perbuatan cabul, dan sebagainya. Akan tetapi, dengan dimensi diatas
bukanlah secara teoritis mutlak sifatnya oleh karena berdasarkan aspek praktik untuk
tindak pidana selain hal tersebut lazim pula sifat alternatif ini diterapkan.
b.
Bahwa dengan adanya komulasi dari analisir
ketentuan Pasal 188 ayat 2 KUHAP yang terdiri dari atas keterangan saksi,
surat, dan keterangan terdakwa apakah telah menerapkan hukum pembuktian
sebagaimana mestinya dan tidak menyalahi asas unus testis nullus testis”? memang, secara teoritis sepintas dengan
komulasi lengkap analisirketentuan Pasal 188 ayat 2 KUHAP telah benar
menerapkan hukum pembuktian dan sekaligus menyalahi asas “unus testis nullus testis”. Akan tetapi, apabila ditinjau dari
aspek praktik, ternyata komulasi anasir lengkap ketentuan Pasal 188 ayat 2
KUHAP hanya baru merupakan satu alat bukti petunjuk sebagaimana ketentuan Pasal
184 ayat 1 huruf d KUHAP dan apabila hakim menjatuhkan pidana berdasarkan hal
ini, merupakan tindakan salah menerapkan hukum.[32]
Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 188
ayat 3 KUHAP yang menentukan bahwa:
“ penilaian atas dasar kekuatan
pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh
hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan
penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya”.
Disini tercermin bahwa pada akhirnya
persoalannya diserahkan kepada hakim. Dengan demikian menjadi sama dengan
pengamatan hakim sebagai alat bukti. Apa yang disebut pengamatan oleh hakim (eigen warrneming van de rechter) harus
dilakukan selama sidang, apa yang telah dialami atau diketahui oleh hakim
sebelumnya tidak dapat dijadikan dasar pembuktian. Kecuali jika perbuatan atau
peristiwa itu telah diketahui oleh umum.
5.
Alat Bukti Berupa Keterangan Terdakwa
Keterangan terdakwa secara limitative
diatur oleh Pasal 189 KUHAP yang berbunyi bahwa:
a.
Keterangan
terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia
lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
b.
Keterangan
terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan
bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah
sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
c.
Keterangan
terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
d.
Keterangan
terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan
perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertal dengan alat bukti
yang lain.
Apabila ketentuan Pasal 189 KUHAP
dijabarkan lebih detail, dapatlah dikonklusikan bahwa:
a.
Keterangan terdakwa merupakan
keterangan tentang apa yang terdakwa nyatakan di sidang pengadilan terhadap
perbuatan yang ia lakukan atau ia ketahui sendiri atau alami sendiri (Pasal 189
ayat 1 KUHAP). Pada prinsipnya hanya keterrangan terdakwa yang diterangkan di
muka sidang atas pertanyaan hakim ketua sidang, hakim anggota, penuntut umum,
terdakwa atau penasehat hukum yang dapat berupa pernyataan, penggakkuan,
ataupun penyangkalan dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah. Untuk itu
pernyataan, pengakuan, penyangkalan tersebut haruslah terhadap perbuatan yang
dilakukan dan diketahui sendiri oleh terdakwa serta juga tentang apa yang
terdakwa alami sendiri khususnya terhadap tindak pidana yang bersangkutan.
b.
Keterangan terdakwa yang diberikan
di luar dapat dipergunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang pengadilan,
yang penting keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang
mengenai apa yang di dakwakan kepadanya (Pasal 189 ayat 2 KUHAP). Pada
prinsipnya keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang pengadilan dan
dapat dipergunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang pengadilan asal
didukung suatu bukti yang sah lainnya. Dalam praktik pradilan lazimnya terhadap
keterangan tersebut dicatat dalam berita acara penyidik dan ditandatangani oleh
penyidik dan terdakwa.
c.
Keterangan terdakwa hanya dapat dipergunakan
terhadap dirinya sendiri dan keterangan tersebut tidak cukup untuk membuktikan
bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, tetapi harus
disertai dengan alat bukti yang lain (Pasal 189 ayat 3 dan 4 KUHAP). Sesuai konteks ini maka secara
teoritis keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri dan
keterangan terdakwa tidak cukup untuk membuktikan tentang kesalahan terdakwa
(Pasal 189 ayat 3, 4, dan 5 KUHAP). Dalam praktik, semenjak era KUHAP yang tidak mengejar
“pengakuan terdakwa”, maka pada tahap pemeriksaan di depan persidangan
terdaakwa di jamin kebebasannya dalam member keterangannya (Pasal 52 KUHAP).
Begitupun sebaliknya, walaupun keterangan terdakwa tersebut berisikan “pengakuan”
tentang perbuatan yang ia lakukan, barulah mempunyai nilai pembuktian apabila
di dukung dan bersesuaian dengan alat bukti lainnya (Pasal 184 ayat 1 huruf a,
b, c, dan d KUHAP).
Dapat dilihat dengan jelas bahwa
keterangan terdakwa sebagai alat bukti tidak perlu sama atau berbentuk
pengakuan. Semua keterangan terdakwa hendaknya didengar, apakah itu berupa
penyangkalan, pengakuan, ataupun pengakuan sebagian dari perbuatan atau
keadaan, tidak perlu hakim mempergunakan seluruh keterangan seorang terdakwa atau
saksi.
Keterangan terdakwa tidak perlu
sama dengan pengakuan, karena pengakuan sebagai alat bukti mempunyai
syarat-syarat:
a.
Mengaku ia yang melakukan delik
yang didakwakan;
b.
Mengaku ia bersalah.
Pengakuan terdakwa adalah bahwa keterangan
terdakwa yang menyangkal dakwaan, tetapi membenarkan beberapa keadaan atau
perbuatan sesuai alat bukti lain merupakan alat bukti.
C. Tinjauan Singkat Alat Bukti
Dalam beberapa Perundang-Undangan Khusus
1.
UU No. 20 Tahun 2001 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
Sesuai dengan
Pasal 26 yang menyebutkan “penyidikan,penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara
pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini”, dengan demikian
sifat hukum acara dalam pembuktian tindak pidana korupsi bersifat lex
specialis derogat lex generalis terhadap KUHAP.
Pengaturan
mengenai alat bukti pada perundang-undangan pemberantasan tindak pidana korupsi
terletak pada Pasal 26A Nomor 20 Tahun 2001, yakni:
“Alat bukti yang sah dalam bentuk
petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) undang-undang nomor 8
tahun 1981 tentang hukum acara pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga
dapat diperoleh dari :
a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang
diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik
atau yang serupa dengan itu; dan
b. Dokumen, yakni setiap rekaman data atau
informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan
dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas,
benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang
berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau
perforasi yang memiliki makna”
2.
UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, Menjadi Undang-Undang
Senada dengan perundang-undangan khusus
lain yang sudah mengatur hukum acaranya sendiri, undang-undang ini dalam Pasal
25 ayat (1) menyebutkan ”penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme, dilakukan berdasarkan hukum
acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam peraturan pemerintah
pengganti undang-undang ini.” Dengan demikian sifat hukum acara dalam
pembuktian tindak pidana terorisme juga bersifat lex specialis derogat lex
generalis dengan KUHAP.
Kompleksnya pembuktian dan rumitnya
modus operandi dari tindak pidana ini melahirkan pengaturan mengenai alat bukti
yang sudah akui mengenai alat bukti elektronik seperti informasi, data dan
dokumen elektronik. Pengaturan mengenai alat bukti tersebut terletak pada Pasal
27.
Pasal 27 : Alat bukti pemeriksaan tindak pidana
terorisme meliputi:
a.
alat bukti
sebagaimana dimaksud dalam hukum acara pidana
b.
alat bukti lain
berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara
elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu ; dan
c.
data, rekaman
atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan / atau didengar, yang dapat
dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas
kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik,
termasuk tetapi tidak terbatas kepada :
a.
tulisan suara,
atau gambar
b.
peta, rancangan,
foto, atau sejenisnya
c.
huruf, tanda,
angka, symbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh
orang yang mampu membaca atau memahaminya.
3.
UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik
Permasalahan yang secara umum terjadi
dalam penanganan kasus kejahatan berbasis teknologi informasi dan transborderless
adalah masalah pembuktian. Hal ini dikarenakan pembuktian dalam hukum pidana
konvensional tidak mengenal bukti-bukti elektronik seperti e-mail, digital
file, electronic file dan lain-lain.
Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik ini merupakan terobosan terbaru dari perkembangan alat bukti.
Undang-Undang ini cukup menjawab dari permasalahan utama dalam perkembangan
kejahatan yang berbasis teknologi informasi, dalam hal ini adalah cybercrime
dan mampu mengakomodasi alat bukti yang paling diperlukan dalam kejahatan
ini, yaitu alat bukti elektronik berupa informasi elektronik dan dokumen
elektronik.
Asas lex specialis derogat lex
generalis perundang-undangan ini dengan KUHAP tercermin dalam BAB X tentang
pengaturan mengenai alat bukti tercantum dalam Pasal 44 UU no 1 tahun 2008
tentang informasi dan transaksi elektronik.
Pasal 44 : Alat bukti penyidikan, penuntutan
dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan Undang-Undang ini adalah
sebagai berikut:
a.
alat bukti
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundangundangan; dan
b.
alat bukti lain
berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3).
Pasal 1 angka 1 : Informasi Elektronik adalah
satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada
tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange
(EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau
sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah
diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
memahaminya.
Pasal 1 angka 4 : Dokumen Elektronik adalah
setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau
disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau
sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer
atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara,
gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses,
simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh
orang yang mampu memahaminya.
Pasal 5 :
a.
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya
merupakan alat bukti hukum yang sah.
b.
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah
sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
c.
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila
menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang ini.
d.
Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
1.
surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam
bentuk tertulis; dan
2.
surat beserta dokumennya yang menurut Undang- Undang harus dibuat dalam
bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
D. Kekuatan Pembuktian Kesaksian
Melalui Video Conference Dalam Perkara Pidana
Keterangan saksi sebagai alat bukti
ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan (Pasal 185 ayat (1) KUHAP).
Jika dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1 butir 27 KUHAP maka yang harus
diterangkan dalam sidang adalah :
1) Apa
yang saksi dengar sendiri
2) Apa
yang saksi lihat sendiri
3) Apa
yang saksi alami sendiri
Selain keterangan saksi di depan persidangan
sesuai pengaturan Pasal 185 ayat (1) KUHAP, ditentukan juga keterangan saksi di
bawah sumpah yang dibacakan di persidangan, yaitu sesuai ketentuan Pasal 162
KUHAP. Pasal 162 KUHAP : Ayat (1) Jika saksi sesudah memberi keterangan dalam
penyidikan meninggal dunia atau karena halangan yang sah tidak dapat hadir di
sidang atau karena sebab lain yang berhubungan dengan kepentingan Negara, maka
keterangan yang telah diberikannya itu dibacakan. Ayat (2) Jika keterangan itu
sebelumnya telah diberikan di bawah sumpah, maka keterangan itu disamakan
nilainya dengan keterangan saksi di bawah sumpah yang diucapkan di sidang”.
Berdasar bahasan di atas, variasi
alat bukti keterangan saksi yaitu :
1. Keterangan
saksi di bawah sumpah di persidangan
2. Keterangan saksi di bawah sumpah yang dibacakan
dalam persidangan (162 ayat 2)
Apabila bertitik tolak dari kajian
formal legalistik memang sepintas video conference bertentangan dengan ketentuan pasal 160 ayat (1) huruf a dan pasal 167
KUHAP. Pada ketentuan pasal 160 ayat (1) huruf a KUHAP menyebutkan, saksi
dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang menurut urutan yang
dipandang sebaik-baiknya oleh hakim ketua sidang setelah mendengar pendapat
penuntut umum, terdakwa dan penasihat hukum. Kemudian dalam ketentuan pasal 167
ayat (1) KUHAP disebutkan, setelah saksi memberikan keterangan, ia tetap hadir
di sidang kecuali hakim ketua sidang memberi izin untuk meninggalkannya.
Ketentuan tersebut secara tekstual
menuntut kehadiran seorang saksi secara fisik di ruang persidangan. Akan
tetapi, kenyataannya untuk menegakkan kebenaran materiil yang bermuara pada
keadilan dalam praktik sedikit telah ditinggalkan. Misalnya, secara faktual
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor. 661 K/Pid/1988 tanggal 19 Juli 1991 dengan
kaidah dasar di mana keterangan saksi yang disumpah di penyidik karena suatu
halangan yang sah tidak dapat hadir di persidangan, di mana keterangannya
tersebut dibacakan maka sama nilainya dengan kesaksian di bawah sumpah.
Hal ini menguatkan Pasal 162 ayat 2
KUHAP, mengenai keterangan saksi di bawah sumpah yang dibacakan di persidangan.
Permasalahan utama mengenai penggunaan video conference ini pada hakekatnya adalah penerimaan dari
para penegak hukum. Persidangan video
conference di Indonesia masih
menyisakan ambiguitas antara sikap Penuntut Umum dengan Penasihat Hukum.
Secara prinsip hukum, penggunaan video conference dalam pemeriksaan saksi lebih
menguntungkan dibandingkan dengan keterangan saksi di bawah sumpah yang
dibacakan dalam persidangan sesuai 162 ayat (2) KUHAP. Berikut perbandingan antara
keduanya :
1.
Pengucapan sumpah atau janji 160 ayat (3) KUHAP. Menurut ketentuan
Pasal 160 ayat (3), sebelum saksi memberi keterangan wajib mengucapkan sumpah
atau janji, dan pengucapan sumpah tersebut dilakukan sebelum saksi memberikan keterangan,
serta dimungkinkan apabila dianggap perlu oleh pengadilan dilakukan sesudah
saksi memberi keterangan. Baik keterangan saksi di bawah sumpah yang dibacakan
maupun pemeriksaan saksi dengan media video conference, masing-masing memenuhi ketentuan ini. Keterangan saksi di bawah
sumpah yang dibacakan, merupakan keterangan saksi di hadapan penyidik yang sudah
diambil di bawah sumpah. Sedangkan prinsip pengucapan sumpah dalam pemeriksaan
saksi dengan media video conference sama dengan pemeriksaan saksi di persidangan
yang di hadapkan secara biasa.
2.
Keterangan
saksi harus diberikan di sidang pengadilan. Secara visual saksi tetap hadir
pada persidangan dan berhadapan dengan hakim, penuntut umum dan penasehat hukum
terdakwa. Hal ini terkait dengan keyakinan hakim yang dimaksud pada Pasal 183
KUHAP ”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang
sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Dalam penerapannya, untuk memperoleh keyakinan hakim ini pada
pemeriksaan saksi di persidangan, maka akan dipertimbangkan hal-hal berikut
oleh hakim, latar belakang kehidupan saksi, perilaku dan bahasa tubuhnya di
sidang pengadilan. Penggunaan media video conference ini memungkinkan hakim untuk mengetahui
secara langsung gesture, sikap
dan roman muka dari saksi yang dihadirkan.
3.
Penilaian
kebenaran keterangan saksi.
Untuk menilai keterangan beberapa
saksi sebagai alat bukti yang sah, harus terdapat saling berhubungan antara
keterangan saksi dengan alat bukti lain keterangan tersebut sehingga dapat
membentuk keterangan yang membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.
Pasal 185 ayat (6) KUHAP mengatur beberapa poin yang patut diperhatikan hakim
dalam menilai kebenaran keterangan saksi yaitu :
a.
Persesuaian antara keterangan saksi
b.
Persesuaian keterangan saksi dengan alat bukti lain
Untuk mengetahui atau mendapatkan adanya
kesesuaian antar keterangan saksi, ataupun dengan alat bukti lain, pada praktek
persidangan sering dilakukan konfrontasi dengan saksi atau alat bukti tersebut.
Konfrontasi yaitu suatu pernyataan atau keterangan saksi yang berbeda ataupun
bertolak belakang dengan keterangan saksi lain/ alat bukti lain maka akan dicek
kebenarannya dengan mengkroscek secara langsung. Melalui media video conference, kehadiran
saksi di persidangan yang sifatnya hampir sama dengan hadir pada sidang
sebenarnya akan memberikan peluang bagi penegak hukum untuk dapat melakukan hal
ini. Tentunya hal ini akan bertolak belakang dengan keterangan saksi di bawah
sumpah yang dibacakan dalam persidangan, dikarenakan kroscek atau konfrontir
yang dilakukan akan bersifat satu pihak saja, yatu terhadap saksi/alat bukti
yang hadir di persidangan saja.
c.
Alasan
saksi memberi keterangan tertentu
Terhadap suatu keterangan yang
diberikan oleh saksi, seorang penegak hukum tidak boleh dengan begitu saja
menerima mentah-mentah hal tersebut. Kadang perlu untuk memilah-milah dan
mengkaji lebih dalam lagi mengenai alasan dari keterangan yang diberikan oleh
saksi. Tentunya hal ini, dengan bantuan media video conference akan dapat dilakukan. Sebaliknya dengan
keterangan saksi di bawah sumpah yang dibacakan dalam persidangan, penegak
hukum hanya dapat menerima hasil keterangan saksi di hadapan penyidik tersebut tanpa
bisa menggali lebih dalam mengenai hal tersebut.
4.
Klarifikasi terhadap keterangan saksi oleh penegak hukum.
Penggunaan video conference merupakan
satu sarana untuk dapat mencari kebenaran materiil. Para pihak yang terlibat,
yaitu hakim, Penuntut umum dan penasehat hukum dapat mendengar langsung keterangan
saksi dan dapat menguji kebenaran tersebut.
Penggunakan media video
conference sebagai alat untuk memberikan kesaksian. Maka penulis memperoleh
beberapa ketentuan mengenai saksi yang harus dipenuhi antara lain;
1. Keterangan lisan
seseorang di muka sidang pengadilan (sesuai Pasal 185 ayat 1) KUHAP)
2. Dengan disumpah lebih
dahulu (sesuai Pasal 275 ayat(2) jo.Pasal 303 HIR dan Pasal 160 ayat (3) jo.
185 ayat (7) KUHAP).
3. Tentang peristiwa
tertentu yang didengar, dilihat dan dialami sendiri (nontestimonium de
auditu)-(sesuai Pasal 1 ayat (27) KUHAP)
Mengenai ketentuan dasar
hukum pembuktian kesaksian dalam menggunakan alat video conference sebagai
media untuk menyampaikan keterangannya, maka dapat di jabarkan sebagai berikut:
1.
Keterangan di muka sidang pengadilan.
Sistem pembuktian secara negatif (negatief wettelijk
stelsel) yang dianut KUHAP (Pasal 183 KUHAP) pada prinsipnya menjamin
tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Dengan menggunakan keyakinan
hakim, dan minimal menggunakan dua alat bukti yang sah, maka sistem pembuktian
kita adalah perpaduan antara sistem conviction-in time(vrijbewijk) dan
sistem pembuktian positif (positief wettelijk stelsel). Dengan demikian,
keyakinan hakim merupakan suatu hal yang penting dalam sistem pembuktian kita.
Sebagai suatu keyakinan, maka sifatnya konviktif dan subyektif, sehingga sulit
diuji secara obyektif. Untuk mendapatkan keyakinan (conviction), hakim
harus dapat memahami latar belakang kehidupan seseorang, perilaku dan bahasa
tubuhnya di sidang pengadilan secara fisik berhadap-hadapan.
Dalam hal ini penggunaan teknologi video conference
yang menyajikan gambar secara detail dan kualitas suara secara jelas tanpa
gangguan (noice), memungkinkan hakim untuk mengetahui secara langsung
sorot mata, roman muka, maupun bahasa tubuh (gestures) yang ditunjukkan
oleh seorang di muka persidangan. Dengan demikian pada prinsipnya kehadiran
seseorang di muka persidangan sebagaimana dimaksud hadir secara fisik juga
dapat dipenuhi dengan menggunakan teknologi video conference.
2.
Dengan di sumpah lebih dahulu
Sebagaimana ketentuan Pasal 160 ayat
(3) KUHAP, dalam memanfaatkan teknologi video conference tidak jauh
berbeda dengan persidangan biasa, yaitu sebelum memberi keterangan, saksi wajib
mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia
akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain dari yang sebenarnya.
3.
Nontestimonium
de Auditu
Seperti halnya di setiap persidangan pidana,
bahwa keterangan saksi adalah salah satu bukti dalam perkara pidana yang berupa
keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri,
ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari
pengetahuannya itu. Dalam hal ini video
confernce akan menjadi alat bukti yang sah sepanjang yang bersangkutan
tidak menyangkalnya.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dalam pembahasan maka dapat
disimpulkan bahwa penggunaan alat elektronik berupa media video conference sebagai alat teknologi yang menayangkan secara
langsung saksi memberikan keterangan dalam persidangan perkara pidana guna
memperoleh kebenaran materil yaitu kebenaran selengkap-lengkapnya dengan
menerapkan ketentuan KUHAP prinsipnya tidak melanggar ketentuan
perUndang-Undangan yang berlaku.
Kekuatan pembuktian kesaksian melalui video conference dalam persidangan perkara pidana adalah kuat
dan meyakinkan jika didukung alat-alat bukti yang telah ditentukan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, karena kesaksian melalui alat teknologi
tersebut sifatnya hanya menambah keyakinan hakim karena kedudukannya tidak
diposisikan sebagai suatu alat bukti yang secara limitatif diatur dalam
PerUndang-Undangan.
B. Saran
Amandemen terhadap KUHAP perlu dilakukan untuk mengikuti
perkembangan kemajuan teknologi yang semakin berkembang agar tidak lagi terjadi
pro maupun kontra terhadap penggunaan alat video
conference untuk menayangkan
kesaksian seseorang dalam peradilan dan juga dalam hal ini diharapkan kepada
Mahkamah Agung RI untuk memberikan pendapat hukum tentang petunjuk tambahan
terhadap peran hakim sebagai pemutus perkara apabila Undang-Undang tidak cukup
mengatur sebelum amandemen di lakukan.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku-Buku
Chazawi Adami, 2006, Hukum Pembuktian
Tindak Pidana Korupsi, Bandung, PT. Alumni
Departmen Pendidikan nasional
RI, kamus
besar bahasa Indonesia
Febrian, J, 2004, Pengetahuan
Komputer dan Teknologi Informasi, Bandung, Penerbit Informatika
Hamzah Andi, 1990, Pengantar Hukum Acara Pidana. Jakarta, Ghalia
Indonesia
Harahap M. Yahya, 2005, Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding,
Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Jakarta,
Sinar Grafika
Mulyadi Lilik, 2010, Seraut
Wajah Putusan Hakim Dalam hukum Acara Pidana. Bandung, PT. Citra Aditya
Bakti.
Soedirjo, 1985, jaksa
dan hakim dalam Peruses Pidana, Jakarta,
CV. Akademika Pressindo
Sianturi. SR, 1996, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan
Penerapannya, Jakarta,
Alumni Ahaem – Petehaem
Peraturan-peraturan
Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Kitab
Undang-Undang Pemberantasan terorisme
Kitab
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi
Kitab
Undang-Undang Informasi Teknologi Komunikasi (ITE)
Internet
http://www.docstoc.com/index.aspx?doc_id=14293204&download=1. diakses
pada tgl 4 Maret 2011
Anonim. Wikipedia,
Videoconfrence. htpp://en.wikipedia.org/wiki. Diakses pada tanggal 19 maret
2011.
http://www.lontar.ui.ac.id//opac/themes/libri2/detail.jsp?id=111353&lokasi=lokal. Diakses pada tanggal 21
Maret 2011
http://www2.kompas.com/utama/news.htm Pemeriksaan Saksi Perkara Ba’asyir di
Malaysia Digelar Lagi Lewat "Teleconference". Di akses pada
tanggal 14 Mei 2011.
Perkara
Korupsi Dana Nonbudgeter Bulog Kejaksaan Sudah Beritahu
Habibie Soal Pemeriksaan
Teleconference. Diakses pada
tanggal 14 Mei 2011
http://multimediaplasa.files.wordpress.com/2010/02/pengertian-video vonference.pdf. Diakses pada tanggal 14 Mei
2011
setia-ceritahati.blogspot.com/2009/04/alat-bukti-surat-menurut-hukum-acara.html.
Diakses pada tanggal 14 Mei 2011
diakses pada tanggal 18 juni
2011
http://rigoristo.blogspot.com/2011/03/keabsahan-media-teleconference-menurut.html. diakses
pada tanggal 29 Juni 2011
[1] . Lilik Mulyadi. Seraut Wajah
Putusan Hakim Dalam hukum Acara Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung
2010. hal. 64
[2] . Soedirjo, jaksa dan hakim
dalam Peruses Pidana, CV. Akademika Pressindo, Jakarta, 1985, hal. 47
3. Departmen
Pendidikan Nasional RI, kamus besar bahasa
indonesia
[3]. Departmen Pendidikan nasional RI, kamusbesar
bahasa Indonesia
[4] . M. Yahya Harahap, Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding,
Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal. 252
[7] . Andi Hamzah. Pengantar Hukum Acara Pidana. Jakarta:
Ghalia Indonesia,
1990, Hal.162.
[9] SR. Sianturi, Asas-Asas
Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, Alumni Ahaem – Petehaem, Jakarta,
1996, hlm. 110.
[10] SR. Sianturi. Ibid, Hlm.117
[11] SR. Sianturi. Ibid, Hlm. 204-206.
[12] SR. Sianturi. Ibid, Hlm. 209.
[13] SR. Sianturi. Ibid, Hlm. 210.
[14] . Anonim. Wikipedia, Videoconfrence. htpp://en.wikipedia.org/wiki.
Diakses pada tanggal 19 maret 2011.
[15] . Febrian, J .Pengetahuan
Komputer dan Teknologi Informasi,
Penerbit Informatika. Bandung
2004 hal. 21
[16] . http://multimediaplasa.files.wordpress.com/2010/02/pengertian-video-vonference.pdf. diakses pada tanggal 19 April 2011
[18] . http://www.lontar.ui.ac.id//opac/themes/libri2/detail.jsp?id=111353&lokasi=lokal.
Diakses pada tanggal 21 Maret 2011
[19] .Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar
Metode Penelitian Hukum, Ed. 1-4, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada,
2008), hal. 163
[20] W.J.S Poerwodarminto, Kamus Umum
Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 1976, hal.76 dan 91
[21] M. Yahya, Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta: Pustaka Kartini, 1985, hal. 38
[22] . R. Wirjino Projodikoro, Hukum
Acara Pidana di Indonesia, Sumur, bandung, 1974. Hal 89
[23] . M. Yahya Harahap, ibid. hal
789-799
[24] . M. Yahya Harahap, ibid.
hal 797-798
[25] . Andi Hamzah, ibid. hal 229
[26] . M. Yahya Harahap, ibid. hal
800
[27] . Andi Hamzah, Hukum Acara
Pidana Indonesia, edisi revisi. Jakarta, 2001, hal. 260-261
[28]. Andi Hamzah, ibid, hal. 265
[29] . Andi hamzah, ibid, hal 269
[30]. Andi Hamzah, ibid, hal. 271
[31]. setia-ceritahati.blogspot.com/2009/04/alat-bukti-surat-menurut-hukum-acara.html.
diakses pada tanggal 13 Mei 2011
Langganan:
Postingan (Atom)