Kamis, 03 Mei 2012

ALAT BUKTI DALAM kuHAP

1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Alat bukti berupa keterangan saksi sangatlah lazim digunakan dalam
penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi
dimaksudkan untuk mengetahui apakah memang telah terjadi suatu perbuatan
pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.
Keberadaan saksi untuk memberikan keterangan dalam penyelesaian
perkara pidana disebutkan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 26
mengatakan bahwa: “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana
yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.
Tidak ada suatu perkara pidana yang lepas dari pembuktian alat bukti
keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu didasarkan
kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya di samping
pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih tetap selalu diperlukan
pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.1
1 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Jakarta, Sinar Grafika, 2008, hlm 286.
2
Keterangan saksi dalam kedudukannya sebagai alat bukti dimaksudkan
untuk membuat terang suatu perkara yang sedang diperiksa diharapkan dapat
menimbulkan keyakinan pada hakim, bahwa suatu tindak pidana itu benar-benar
telah terjadi dan terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut.
Seringkali dalam berbagai sidang pembuktian perkara pidana, muncul alat
bukti yang disebut dengan istilah ”saksi mahkota”. Pada dasarnya, istilah saksi
mahkota tidak disebutkan secara tegas dalam KUHAP. Penggunaan alat bukti
saksi mahkota hanya dapat dilihat dalam perkara pidana yang berbentuk
penyertaan, dan terhadap perkara pidana tersebut telah dilakukan pemisahan
(splitsing) sejak proses pemeriksaan pendahuluan di tingkat penyidikan. Selain
itu, munculnya dan digunakannya saksi mahkota dalam perkara pidana yang
dilakukan pemisahan tersebut didasarkan pada alasan karena kurangnya alat bukti
yang akan diajukan oleh penuntut umum.2
Secara normatif penggunaan saksi mahkota merupakan hal yang
bertentangan dengan prinsip-prinsip peradilan yang adil dan tidak memihak dan
pelanggaran kaidah HAM secara universal sebagaimana yang diatur dalam
KUHAP itu sendiri, khususnya hak ingkar yang dimiliki terdakwa dan hak
terdakwa untuk tidak dibebankan kewajiban pembuktian, Pasal 66 KUHAP.
Penggunaan ‘saksi mahkota’ oleh Penuntut Umum selama ini jelas melanggar
2 http://mmsconsulting.wordpress.com/2008/07/31/eksistensi-saksi-mahkota-sebagai-alatbukti-
dalam-perkara-pidana/, di akses pada hari Kamis, Tanggal 08 Oktober 2009, jam 22:12 WIB.
3
instrumen hak asasi manusia secara internasional.3 Istilah “saksi mahkota” tidak
terdapat dalam KUHAP, tapi dalam praktik dan berdasarkan perspektif empirik
saksi mahkota itu ada. Di sini yang dimaksud “saksi mahkota” adalah saksi yang
berasal dan/atau diambil dari salah seorang atau lebih tersangka atau terdakwa
lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana dan dalam hal mana
kepada saksi tersebut diberikan mahkota.4
Mahkota yang diberikan kepada saksi yang berstatus terdakwa tersebut
adalah dalam bentuk ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikan
suatu tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke pengadilan
atau dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan saksi tersebut.5 Dalam
perkembangannya, ternyata muncul berbagai pendapat, baik yang berasal dari
praktisi maupun akademisi, mengenai penggunaan saksi mahkota sebagai alat
bukti dalam pemeriksaan perkara pidana. Sebagian pihak berpendapat bahwa
penggunaan saksi mahkota dibolehkan karena bertujuan untuk tercapainya rasa
keadilan publik. Namun sebagian berpendapat, bahwa penggunaan saksi mahkota
tidak dibolehkan karena bertentangan dengan hak asasi dan rasa keadilan
terdakwa.
3 http://mmsconsulting.wordpress.com/2008/07/31/eksistensi-saksi-mahkota-sebagai-alatbukti-
dalam-perkara-pidana/, di akses pada hari Kamis, Tanggal 08 Oktober 2009, jam 22:12 WIB.
4 Lilik Mulyadi, Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana : Teori, Praktik, Teknik
Penyusunan dan Permasalahannya, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2007, hlm 85-86.
5 ibid
4
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas maka penulis
mengajukan perumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana mekanisme penentuan saksi mahkota berdasarkan praktik
peradilan?
2. Bagaimana kekuatan pembuktian saksi mahkota berdasarkan praktik
peradilan?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana mekanisme penentuan saksi mahkota
berdasarkan praktik peradilan.
2. Untuk mengetahui bagaimana kekuatan pembuktian saksi mahkota
berdasarkan praktik peradilan.
D. Tinjauan Pustaka
Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang
didakwakan, merupakan bagian yang terpenting acara pidana. Bagaimana
akibatnya jika seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan
yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim,
padahal tidak benar. Untuk inilah maka hukum acara pidana bertujuan untuk
5
mencari kebenaran materiil.6 Pada dasarnya hampir tidak ada perbedaan
pemeriksaan saksi dengan tersangka. Baik mengenai tata cara pemanggilannya
maupun cara pemeriksaan, bahkan pengaturannya dalam KUHAP hampir
seluruhnya diatur dalam pasal-pasal yang bersamaan, tidak dipisah dalam aturan
pasal yang berbeda.7
Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian atau “the degree of
evidence” keterangan saksi, agar keterangan saksi atau kesaksian mempunyai
nilai serta kekuatan pembuktian, perlu diperhatikan beberapa pokok ketentuan
yang harus dipenuhi oleh seorang saksi. Artinya, agar keterangan seorang saksi
dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian,
harus dipenuhi aturan ketentuan sebagai berikut: 8
1. Harus mengucapkan sumpah atau janji,
2. Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti,
3. Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan,
4. Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup,
5. Keterangan bebarapa saksi yang berdiri sendiri.
Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam
perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak ada perkara pidana yang luput dari
pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara
pidana, selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi. Sekurang-
6 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm 249.
7 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan
Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm 141.
8 M. Yahya Harahap, Op.cit, hlm 286-290.
6
kurangnya disamping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu
diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.
Saksi menduduki peran dan fungsi yang penting dalam suatu pemeriksaan
perkara disidang pengadilan. Tanpa adanya saksi, suatu tindak pidana akan sulit
diungkap kebenarannya. Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam
perkara pidana yang berupa keterangan mengenai suatu atau semua hal yang ia
lihat, ia dengar atau ketahui tentang suatu kejahatan atau perbuatan yang
dilakukan oleh terdakwa dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.9
Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses
pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa.
Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang
“tidak cukup” membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa,
terdakwa “dibebaskan” dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa
dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti disebut dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu:
1. Alat bukti yang sah ialah:
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa.
9 http://racifmultiply.com/journal/item/21, di akses pada hari Rabu, Tanggal 07 Oktober 2009,
jam 10:38 WIB.
7
2. Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Terdakwa dinyatakan “bersalah”. Kepadanya akan dijatuhi hukuman.
Oleh karena itu, hakim harus hati-hati, cermat, dan matang menilai dan
mempertimbangkan nilai pembuktian. Meneliti sampai dimana batas minimum
“kekuatan pembuktian” atau bewijs kracht dari setiap alat bukti yang disebut
dalam Pasal 184 KUHAP.
Suatu keterangan tentang perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa,
dimana keterangan tersebut ada hubungannya dengan tindak pidana yang
dilakukan oleh terdakwa, maka dapat digunakan sebagai sangkaan adanya
perbuatan pidana yang dilakukan oleh terdakwa. Penentuan perbuatan pidana
didahului oleh timbulnya dugaan atau sangkaan tentang suatu perbuatan yang
akan ditetapkan kebenarannya secara lengkap dengan mengadakan seleksi
keadaan-keadaan dan merangkai kejadian-kejadian.10
Dalam hal ini hakim ketua sidang mengingatkan saksi tentang hal itu serta
meminta keterangan mengenai perbedaan yang ada dan dicatat dalam berita acara
pemeriksaan sidang. Penolakan saksi untuk diperiksa dan diminta keterangannya
serta keterangan saksi yang berbeda dengan keterangan yang diberikan dalam
berita acara pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik, merupakan hambatan
bagi hakim guna menemukan kebenaran materiil dalam penyelesaian perkara
10 Bambang Poernomo, Pokok-pokok Tata Acara Peradilan Pidana Indonesia, Yogyakarta,
Liberty, 1986, hlm 12.
8
pidana. Untuk menjatuhkan pidana terhadap terdakwa, hakim disamping
mendengar keterangan dari saksi juga mendengarkan keterangan dari terdakwa.11
Sebagaimana diungkapkan oleh Djoko Prakosa:
“Dari keterangan yang diberikan terdakwa dapat ditarik suatu petunjuk, karena
itulah keterangan saksi dan keterangan terdakwa mempunyai kedudukan yang
sangat penting dalam pemeriksaan perkara pidana dipersidangan.”12
Alat bukti saksi mahkota pengaturannya tidak terdapat dalam KUHAP,
walaupun dalam KUHAP tidak ada definisi otentik mengenai saksi mahkota
namun dalam praktik dan berdasarkan perspektif empirik saksi mahkota itu ada.
Namun demikian, ketentuan Pasal 168 huruf c KUHAP merupakan dasar
pengaturan terhadap eksistensi saksi mahkota. Penggunaan saksi mahkota sebagai
alat bukti dalam perkara pidana dibolehkan. Jadi disini penggunaan saksi
mahkota dibenarkan didasarkan pada prinsip-prinsip tertentu yaitu: 13
1. Dalam perkara delik penyertaan,
2. Terdapat kekurangan alat bukti,
3. Diperiksa dengan mekanisme pemisahan (splitsing).
Terdakwa bergantian menjadi saksi atas perkara yang dia sendiri ikut serta
didalamnya. Sebenarnya bertentangan dengan larangan mendakwa diri sendiri,
karena dia sebagai saksi akan disumpah yang dia sendiri juga menjadi terdakwa
11 Djoko Prakoso, Alat bukti dan Kekuatan pembuktian di dalam proses Pidana, Yogyakarta,
Liberty, 1988, hlm 68
12.ibid
13 http://sofyanlubis.blogspot.com/2008/07/saksi-mahkota.html, di akses pada hari Sabtu,
Tanggal 10 oktober 2009, jam 22:47 WIB.
9
atas perkara itu. Terdakwa tidak disumpah, berarti jika dia berbohong tidak
melakukan delik sumpah palsu. Jika saksi berbohong dapat dikenai sumpah palsu.
Jadi, bergantian menjadi saksi dari para terdakwa berarti mereka didorong untuk
bersumpah palsu, karena pasti akan meringankan temannya, karena dia sendiri
juga ikut serta melakukan delik itu, dan memberatkan terdakwa.14
Saksi mahkota juga pelaku, diajukan sebagai terdakwa yang dakwaannya
sama dengan terdakwa yang diberikan kesaksian. Saksi yang disumpah harus
berkata benar tentang yang ia lihat, ia dengar, dan ia alami, kalau tidak dapat
dipidana atas kesaksiannya. Saksi mahkota mengalami tekanan psikis, karena
secara implisit membuktikan perbuatan yang ia lakukan kesaksian yang benar
akan diancam pidana dalam posisinya sebagai terdakwa tidak dapat mengingkari
atau membela diri, karena terikat sumpah kala jadi saksi. Adanya alasan klasik
yang dikemukakan Penuntut Umum, bahwa untuk memenuhi dan mencapai rasa
keadilan publik sebagai dasar argumentasi diajukannya saksi mahkota bukan
merupakan hal yang menjustifikasi penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti
sudah tidak bisa ditoleransi lagi.15
14 Andi Hamzah, Op. Cit, hlm 271-272.
15 ibid
10
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian normatif, yakni penelitian
dengan studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum, baik bahan hukum
primer, bahan sekunder, maupun bahan hukum tersier dan atau bahan non
hukum. Penelusuran bahan-bahan hukum tersebut dapat dilakukan dengan
membaca, melihat, mendengarkan, maupun sekarang banyak dilakukan
penelusuran bahan hukum tersebut melalui media internet.
2. Narasumber:
Ibu Eka Ratna W, S.H. selaku Hakim di Pengadilan Negeri Bantul.
3. Sumber Data
a. Bahan hukum primer adalah peraturan perundang-undangan dan dokumen
resmi yang berhubungan erat dengan permasalahan yang diteliti. Bahan
hukum penelitian ini bersumber dari:
1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana,
2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981, tentang Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP),
b. Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder dalam
penelitian ini bersumber dari:
1) Literatur-literatur hukum pidana, terutama yang berkaitan dengan
saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana.
11
2) Makalah-makalah dan hasil penelitian terdahulu yang berkaitan
dengan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana.
c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, sebagai
contoh adalah Kamus Hukum, Penerbit ”Citra Umbara” Bandung.
4. Teknik pengumpulan data.
Pengumpulan data dilakukan dengan Penelitian Kepustakaan:
Kepustakaan, yaitu mencari dan mengumpulkan data yang diperoleh dari
buku-buku literatur, tulisan para ahli dan peraturan perundang-undangan.
5. Analisis Data.
Dalam penelitian ini menggunakan analisa kualitatif yang berupa
meyederhanakan data kedalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan di
interpretasikan. Analisa ini memandang data sebagai produk dari proses
memberikan interprestasikan peneliti yang ada didalamnya sudah terkandung
makna yang mempunyai refrensi pada nilai. Dengan demikian data yang
dihasilkan merupakan konstuksi interaksi antara peneliti dengan informan.
Kegiatan analisis dalam penelelitian kualitatif hanya merupakan rekonstruksi
sebelumnya. Dari pandangan tersebut penelitian kualitatif memproses data
penelitian dari reduksi data, penyajian data sampai pada pengambilan
kesimpulan.
12
F. Sistimatika Penulisan Skripsi
BAB I Pada bab pendahuluan berisi penyajian materi sebagaimana
diuraikan dalam bagian pokok usulan penelitian. Bab pendahuluan
terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, metode penelitian dan sistimatika penulisan skripsi.
BAB II Bab ini menguraikan tentang tinjauan tentang pembuktian,
pengertian hukum pembuktian, sistem pembuktian serta alat bukti.
Dalam alat bukti ini diterangkan tentang keterangan saksi,
keterangan ahli, alat bukti surat, alat bukti petunjuk dan keterangan
terdakwa.
BAB III Bab ini menguraikan tentang saksi dalam pemeriksaan perkara
pidana, mencakup tentang pengertian saksi, hak dan kewajiban
sebagai saksi, macam-macam saksi: Saksi Aquit de Charge, saksi
Aquit Charge, saksi mahkota, dan saksi korban.
BAB IV Dalam bab ini tentang penyajian data dimana berisi data atau faktafakta
yang sudah dikumpulkan dan relevan serta melakukan
pengkajian terhadap penelitian terhadap penelitian yang didapat.
Pada bab ini berisi tentang mekanisme penentuan saksi mahkota
berdasarkan praktik peradilan dan kekuatan pembuktian saksi
mahkota berdasarkan praktik peradilan.
BAB V Menyajikan kesimpulan dimana merupakan pernyataan singkat
tentang hasil akhir yang mengaitkan antara landasan teoritik yang
13
dijadikan pijakan dengan hasil analisis data yang diperoleh. Bagian
saran menurut pernyataan berdasarkan pengalaman dan
pertimbangan peneliti bagi semua pihak yang mempunyai kaitan dan
kepentingan dengan obyek penelitian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar